Segala puji bagi Allah l yang telah mengaruniakan rezeki kepada kita, memerintahkan kita untuk menginfakkannya di jalan-Nya, dan menjanjikan pahala yang besar bagi yang melakukannya. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan oleh Allah l kepada Nabi kita Muhammad dan keluarganya, serta para sahabat dan orang-orang yang senantiasa mengikuti petunjuk beliau n.
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l dan mensyukuri pemberian-pemberian-Nya, dengan menggunakan rezeki yang telah Allah l karuniakan kepada kita untuk hal-hal yang diridhai-Nya. Semestinya kita mengingat dan menyadari, harta yang kita miliki secara hakiki adalah yang kita gunakan untuk akhirat kita. Yang kita gunakan untuk membantu orang-orang miskin, anak yatim, wakaf, dan untuk hal-hal yang bermanfaat lainnya.
Itulah sesungguhnya harta yang kita miliki karena seseorang akan mendapatkan balasannya kelak pada kehidupan yang abadi dengan pahala yang berlipat-lipat dan sangat banyak. Adapun harta lainnya yang tidak dikeluarkan di jalan Allah l, kepemilikannya sebatas ketika dia masih hidup dan sehat, serta ketika akalnya masih bersamanya di dunia.
Apabila dia meninggal dunia, dirinya tidak lagi memilikinya, selain yang dia gunakan untuk shadaqah jariyah. Bahkan, meskipun ketika masih hidup, namun dalam keadaan sakit dan ada tanda-tanda yang menunjukkan akan datangnya kematian, dirinya sudah tidak memiliki kewenangan untuk menggunakan hartanya sebagaimana di saat dia sehat. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah z, beliau mengatakan:
Seseorang datang menemui Nabi n kemudian bertanya, “Ya Rasulullah, apakah sedekah yang paling banyak pahalanya?” Nabi n menjawab, “Engkau bersedekah dalam keadaan dirimu sehat, tidak ingin hartamu lepas darimu, serta dalam keadaan engkau takut kefakiran dan sangat menginginkan harta tersebut. Janganlah engkau menunda hingga ketika ruh sudah mendekati tenggorokan barulah engkau mengatakan, ‘Untuk si fulan sekian dan untuk si fulan sekian’, padahal memang itu sudah menjadi milik si fulan (ahli warisnya).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Maka dari itu, ketika kematian hendak menghampiri seseorang dan ruhnya sudah sampai tenggorokan, dia sudah tidak diperkenankan lagi memanfaatkan hartanya. Harta yang dengan susah payah dia dapatkan, tidak lagi menjadi miliknya karena pada saat kematian mendatanginya kepemilikan hartanya akan segera beralih ke ahli warisnya sehingga dia tidak lagi memilikinya secara penuh.
Dia telah menyia-nyiakan waktu sehatnya, ketika harta sepenuhnya masih menjadi miliknya dan bisa dia manfaatkan untuk kebaikan-kebaikan sesuai dengan yang dia inginkan, karena dia menunda-nundanya. Seandainya dia bersedekah, tidak sah melainkan jika dia ingin berwasiat sebelum kematiannya. Hal ini diperbolehkan selama untuk kebaikan, dengan syarat bukan untuk ahli warisnya dan tidak melebihi sepertiga hartanya.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim, ketika Rasulullah n menjenguk sahabat Sa’d ibn Abi Waqqash z yang saat itu dalam keadaan sakit parah. Sa’d mengatakan:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku dalam keadaan sakit sebagaimana engkau lihat dan aku adalah orang yang memiliki banyak harta. Sementara itu, tidak ada ahli waris kecuali satu anak perempuanku. Apakah boleh aku untuk bersedekah dengan dua pertiga hartaku? Nabi menjawab, “Tidak.” Aku pun berkata, “Bagaimana kalau separuhnya?” Nabi menjawab, “Tidak.” Kemudian aku berkata, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Nabi menjawab, “Ya, sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak atau besar.” (Muttafaqun ‘alaih).
Disebutkan pula dalam hadits bahwa Nabi n bersabda:
“Dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Oleh karena itu, marilah kita segera menggunakan harta kita di jalan Allah l. Sungguh, ketika seseorang mengeluarkannya di jalan Allah l dan semata-mata karena Allah l, maka dia akan mendapatkan apa yang telah dijanjikan-Nya dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya, Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (at-Taubah: 111)
Lihatlah betapa besar kebaikan dan keutamaan Allah l. Allah l membeli dari hamba-Nya sesuatu yang telah Dia l berikan kepadanya, dengan cara mengeluarkannya di jalan yang diridhai-Nya. Allah l membelinya dengan memberikan surga kepada orang yang berinfak di jalan-Nya. Di dalam ayat yang lain, Allah l berfirman:
“Barang siapa mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (yaitu menafkahkan hartanya di jalan Allah), Allah akan meperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (al-Baqarah: 245)
Ketahuilah bahwasanya anjuran untuk bersedekah bukanlah khusus bagi orang yang kaya saja. Bahkan, orang yang miskin pun dianjurkan untuk bersedekah sesuai dengan kemampuannya, meskipun hanya sedikit. Rasulullah n bersabda:
“Takutlah dari siksa neraka meskipun hanya (bersedekah) dengan separuh kurma.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Namun, tentu saja seseorang tidaklah bersedekah melainkan semata-mata mengharapkan balasan dari Allah l dan berasal dari harta yang halal. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan darinya padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah, Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (al-Baqarah: 267)
Mudah-mudahan Allah l senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semuanya untuk bisa bersedekah di jalan-Nya dan mudah-mudahan Allah l menerima amalan kita.
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah l dengan menginfakkan harta kita di jalan-Nya. Ingatlah bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta kita. Nabi n bersabda:
“Tidaklah sedekah akan mengurangi harta.” (HR. Muslim)
Bahkan, sedekah akan menjadi sebab bertambahnya harta. Allah l berfirman:
“Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah sebaik-baik yang memberikan rezeki.” (Saba’: 39)
Begitu pula, apa yang kita sedekahkan pada hakikatnya itulah harta yang masih bersama kita, sedangkan yang belum kita infakkan adalah yang pergi meninggalkan kita.
Ketika seseorang diberi kemudahan untuk bersedekah, janganlah dia merusak pahala sedekahnya. Ingatlah firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menghilangkan (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia, serta dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah), mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah: 263—264)
Dari ayat tersebut kita mengetahui bahwa menyebut-nyebut pemberian dan menyakiti perasaan yang menerima akan menghilangkan pahala sedekah yang telah diberikan. Begitu pula menginginkan pujian orang lain atas sedekah yang dikeluarkan. Hati orang tersebut ibarat batu licin yang permukaannya tertutup tanah. Orang yang melihatnya menyangka kalau turun hujan akan tumbuh tanaman di atasnya. Namun, kenyataannya tidak hanya tanaman yang tidak tumbuh, bahkan hilang pula tanahnya dan tampaklah batu tersebut. Begitulah orang yang berinfak bukan karena iman, tidak akan tumbuh pahala dari sedekahnya.
Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi adalah lebih afdal daripada sedekah yang dilakukan dengan terang-terangan karena akan lebih dekat kepada keikhlasan dan lebih jauh dari riya. Meskipun demikian, menampakkan sedekah adalah perkara yang diperbolehkan, terlebih dalam amalan yang harus tampak. Apalagi ketika menampakkannya akan mendorong orang lain untuk ikut bersedekah, tentu hal ini memiliki keutamaan tersendiri.
Namun, yang pasti sedekah itu harus dilakukan dengan ikhlas, semata-mata karena Allah l. Allah l berfirman:
“Jika kalian menampakkan sedekah kalian, itu adalah baik sekali. Namun, jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir, menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (al-Baqarah: 271)
Begitu pula, memberi orang miskin yang malu untuk meminta-minta adalah lebih baik daripada memberi kepada orang yang meminta-minta meskipun orang yang meminta-minta juga memiliki hak untuk diberi. Namun, orang miskin yang sesungguhnya adalah orang yang tidak menampakkan kemiskinannya dengan meminta-minta meskipun dirinya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Allah l berfirman:
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak ada kemampuan untuk mencari usaha di muka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta, kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 273)
Mudah-mudahan Allah l memberikan kemudahan kepada kita untuk senantiasa ikhlas dalam bersedekah dan dalam seluruh amalan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar