Senin, 10 Oktober 2011

pengembangan dari UMKM






Badai krisis ekonomi yang mulai terjadi pada pertengahan 1997 telah menerpa hampir semua sendi-sendi perekonomian dan bisnis di Indonesia. Hal ini dirasakan langsung oleh sektor perbankan dan bisnis korporasi, terbukti dengan ditutupnya operasi delapan buah bank secara bersamaan dan lumpuhnya unit-unit bisnis beraset milyaran hingga trilyunan rupiah. Akan tetapi tidak demikian halnya yang terjadi pada sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang ternyata memiliki kelenturan tersendiri menghadapi badai krisis tersebut. Hal ini antara lain disebabkan oleh tingginya local content pada faktor-faktor produksi mereka, baik pada penggunaan bahan baku maupun permodalan. Selain itu, usaha mereka pada umumnya berbasis pada basic needs masyarakat luas dan memiliki keunggulan komparatif.
Usaha mikro kecil dan menengah merupakan suatu subyek yang penting dalam analisa kebijakan pemerintah Indonesia, yang didasari oleh beberapa alasan (Hill, 2001). Pertama, UMKM di negara manapun memainkan suatu peran yang sangat penting di dalam pembangunan ekonomi. Mereka secara khas mempekerjakan 60% atau lebih banyak lapangan kerja industri dan menghasilkan sampai separuh output. UMKM merupakan suatu komponen penting dalam proses industrialisasi yang lebih luas.
Kedua, UMKM merupakan sarana untuk mempromosikan bisnis pribumi dan oleh karena itu sebagai alat redistribusi aset secara etnik. Lebih umum lagi, ada suatu pemisahan antara standar pendekatan ahli ekonomi terhadap intervensi kebijakan, yang menekankan solusi orientasi pasar sebagai kunci pembangunan ekonomi yang cepat.
Ketiga, tidak bisa diasumsikan bahwa jenis kebijakan yang sama yang dikeluarkan untuk industri besar akan berlaku bagi UMKM. UMKM menunjukkan suatu konsentrasi aktivitas khusus dalam industri. Mereka biasanya memperlihatkan suatu konsentrasi yang lebih sedikit di sekitar pusat kota dibandingkan dengan perusahaan besar. Hanya sebagian kecil UMKM yang dimiliki oleh orang asing (atau pemerintah) dan hanya sedikit yang berorientasi ekspor, paling tidak ekspor langsung.
Keempat, pengalaman internasional menyatakan bahwa sektor UMKM kondusif bagi pertumbuhan industri yang cepat dan merupakan struktur industri yang fleksibel. Taiwan sering dijadikan sebagai suatu contoh perekonomian yang dibangun atas dasar sektor UMKM yang efisien.
Thee (1993 : 109) mengemukakan bahwa pengembangan industri kecil adalah cara yang dinilai besar peranannya dalam pengembangan industri manufaktur. Pengembangan industri berskala kecil akan membantu mengatasi masalah pengangguran mengingat teknologi yang digunakan adalah teknologi padat karya, sehingga bisa memperbesar lapangan kerja dan kesempatan usaha, yang pada gilirannya mendorong pembangunan daerah dan kawasan pedesaan.
Akhirnya, sekarang ada minat tertentu terhadap UMKM di Indonesia karena sektor ini nampak mampu menghadapi krisis ekonomi 1997-1998 dengan lebih baik daripada unit industri yang lebih besar.
•DEFINISI USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH
Di Indonesia, terdapat beberapa definisi yang berbeda-beda tentang UMKM. Pendefinisian ini antara lain dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, Departemen Koperasi dan UKM, Bank Indonesia, dan juga oleh Bank Dunia.
UMKM di Indonesia memiliki karakteristik yang hampir seragam. Menurut Kuncoro (2007) ada empat karakteristik yang dimiliki oleh kebanyakan UMKM di Indonesia. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan yang memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, rendahnya akses terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang, perantara, bahkan rentenir. Ketiga, sebagian besar usaha ini belum memiliki status badan hukum. Keempat, hampir sepertiga UMKM bergerak pada kelompok usaha makanan, minuman, dan tembakau (ISIC31), barang galian bukan logam (ISIC36), tekstil (ISIC32), dan industri kayu, bambu, rotan, rumput, dan sejenisnya termasuk perabot rumah tangga (ISIC33).
usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan. Namun demikian disadari pula bahwa pengembangan usaha kecil menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, keterampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumber daya manusia mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik.
Secara lebih spesifik, ada beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi peungusaha kecil (Kuncoro, 2007 : 368). Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil. Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan dan kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Dengan demikian untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam rangka pemberdayaan UMKM, maka diperlukan beberapa langkah strategis yang terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran makro maupun mikro yang meliputi:

1. Penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi melalui kebijakan yang memudahkan dalam formalisasi dan perijinan usaha, antara lain dengan mengembangkan pola pelayanan satu atap untuk memperlancar proses dan mengurangi biaya perijinan.
2. Pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada pasar yang lebih luas dan berorientasi ekspor serta akses kepada sumber daya produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia.
3. Pengembangan budaya usaha dan kewirausahaan, terutama di kalangan angkatan kerja muda, melalui pelatihan, bimbingan konsultasi dan penyuluhan. Pelatihan diutamakan pada bidang yang sesuai dengan unit usaha yang menjadi andalan. Selain itu juga diperlukan pelatihan manajerial karena pada umumnya pengusaha kecil lemah dalam kemampuan manajemen dan banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terdidik.
4. Diperlukan usaha pemerintah daerah untuk mengupayakan suatu pola kemitraan bagi UMKM agar lebih mampu berkembang, baik dalam konteks sub kontrak maupun pembinaan yang mengarah ke pembentukan kluster yang bisa mendorong UMKM untuk berproduksi dengan orientasi ekspor.
5. Untuk mengatasi kesulitan permodalan, diperlukan peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas layanan lembaga keuangan lokal dalam menyediakan alternatif sumber pembiayaan bagi UMKM dengan prosedur yang tidak sulit. Di samping itu, agar lembaga pembiayaan untuk sektor UMKM menjadi lebih kuat dan tangguh, jaringan antar lembaga keuangan mikro (LKM) dan antara LKM dan Bank juga perlu dikembangkan.
•TREND UMKM DI INDONESIA
Konsentrasi UMKM kecenderungannya berada di luar kota utama dan pusat industri. Share UMKM dalam output industri di Jakarta adalah di bawah rata-rata nasional, meskipun sedikit di bawah kasus ketenaga-kerjaan. Sebagian dari provinsi yang mempunyai suatu tradisi yang kuat tentang usaha skala kecil, yaitu pengusaha kecil pedesaan di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali memiliki share UMKM yang lebih tinggi, seperti halnya sebagian provinsi yang lebih terpencil seperti Nusa Tenggara dan beberapa bagian dari Sulawesi. Tetapi di beberapa provinsi yang lebih mudah terindustrialisasi, seperti yang ada di Kalimantan, juga mempunyai share UMKM yang rendah. Bagian dari penjelasan untuk pola yang tak diduga ini adalah bahwa sejumlah kecil industri di mana perusahaan besar lebih dominan seperti pupuk dan plywood mencatat sebagian besar nilai tambah industri regional. Jika industri ini tidak dimasukkan, atau jika sejumlah kecil konsentrasi regional di mana mereka dikeluarkan, suatu pola UMKM yang dominan akan muncul.
Dilihat dari persentase kontribusi tenaga kerja dan nilai tambah antar propinsi di Indonesia, untuk tahun 1999, Propinsi Jawa Tengah memilki kontribusi paling besar dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia
Perkembangan peran UMKM yang besar ditunjukkan oleh jumlah unit usaha dan pengusaha, serta kontribusinya terhadap pendapatan nasional, dan penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2003, persentase jumlah UMKM sebesar 99,9 persen dari seluruh unit usaha, yang terdiri dari usaha menengah sebanyak 62,0 ribu unit usaha dan jumlah usaha kecil sebanyak 42,3 juta unit usaha yang sebagian terbesarnya berupa usaha skala mikro. Pada tahun 2004 jumlah UMKM diperkirakan telah melampaui 44 juta unit UMKM dan telah menyerap lebih dari 79,0 juta tenaga kerja atau 99,5 persen dari jumlah tenaga kerja pada tahun yang sama. Jumlah tenaga kerja ini meningkat rata-rata sebesar 3,10 persen per tahunnya dari posisi tahun 2000. Kontribusi UMKM dalam produk domestik bruto pada tahun 2003 adalah sebesar 56,7 persen dari total PDB nasional, naik dari 54,5 persen pada tahun 2000.
•SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN PRODUKTIVITAS UMKM
Peningkatan produktivitas (tenaga kerja atau total faktor produksi) dicapai melalui mekanisme yg bervariasi. Upgrading teknologi adalah satu di antaranya dan dalam pengertian yang lebih luas, meliputi tidak hanya permesinan yang lebih baik tetapi juga peningkatan dalam area seperti tempat kerja organisasi, penanganan inventori dan disain produk. Adalah dapat diterima bahwa perusahaan kecil akan sedikit lebih mampu menangani proses ini dengan sukses dengan kehendak mereka sendiri dibanding perusahaan besar. Maka, banyak perhatian telah diberikan kepada kemungkinan peran kluster dan sub kontrak dan aturan yang mendukung perkembangannya yang dengan mudah dapat diakses oleh perusahaan kecil, dan sistem pendukungan kolektif, mencakup sektor publik dan asosiasi swasta.
Sumber Peningkatan Teknologi
Berry dan Levy (1999) dalam Berry et. al. (2001) menjelaskan bahwa dari analisa mereka tentang sumber kemampuan teknologi untuk UMKM eksportir mebel rotan, garmen dan mebel kayu, ada beberapa sumber peningkatan teknologi. Salah satunya adalah saluran pribadi (yaitu suplier peralatan atau pembeli), yang telah menjadi mekanisme yang dominan untuk memperoleh kemampuan teknis di ketiga sektor. Para pembeli asing menjadi sumber yang paling utama dari pendukungan teknologi luar (dan pendampingan pemasaran luar) di ketiga industri. Karyawan ekspatriat menjadi sumber paling utama yang kedua dari kapasitas teknologi di dalam industri garmen dan rotan, dua industri di mana Indonesia telah muncul sebagai produsen penting. Para suplier peralatan dinilai sebagai sumber kedua penyedia informasi teknologi yang bermanfaat. Di sisi lain, konsultan pribadi dinilai memiliki arti penting yang terbatas seperti penyedia sektor publik, asosiasi industri dan “bapak angkat”.
Kedua, sub kontrak dapat meresap dalam ketiga industri, dan telah menjadi krusial, untuk memanfaatkan ketrampilan tradisional untuk produksi ekspor. Ketiga, tenaga kerja ekspatriat adalah suatu mekanisme yang kuat untuk memperoleh kemampuan teknologi di sektor garmen dan rotan, tetapi praktek ini dipusatkan tak sebanding antar usahawan non-pribumi (sebagian besar Cina) yang memperoleh keuntungan dari embel-embel komunitas etnik.
•Sub Kontrak
Sub kontrak telah memainkan suatu peran penting dalam pengintegrasian UMKM ke dalam sektor manufaktur dinamis di negara-negara seperti Korea dan Jepang. Dalam suatu studi industri mebel di Jepara, Sandee et. al. (2000) seperti dikutip oleh Berry et. al.(2001), menemukan satu fungsi dari kapasitas intern antar eksportir akan melakukan pengendalian mutu dan untuk menentukan subkontraktor baru yang mampu dari karyawan mereka.
Sub kontrak didukung oleh pesanan ekspor besar, order yang berfluktuasi, dan resiko yang berhubungan dengan suatu investasi berat oleh perusahaan tunggal. Dalam keadaan demikian biaya-biaya yang lebih rendah bisa dicapai oleh subkontraktor sebab mereka membayar gaji yang lebih rendah dibanding perusahaan besar, mereka mengkhususkan di dalam tugas spesifik yang dilaksanakan secara sangat efisien, dan mereka mampu mengurangi biaya-biaya modal dengan berbagi peralatan dengan perusahaan tetangga. Kekerabatan, persahabatan atau kontak bisnis sebelumnya juga mendorong sub kontrak.
Studi Supratikno (1998) yang dikutip oleh Berry et. al. (2001) tentang pengaturan sub kontrak di dalam tiga perusahaan menemukan bahwa perusahaan yang besar akan mengontrak ke perusahaan kecil beberapa item yang mempunyai nilai tambah rendah, yang memerlukan banyak input tenaga kerja, dan tidak begitu penting terhadap keseluruhan proses produksi.
Dalam studi yang dilakukan oleh Sato (2000) terhadap industri pengecoran logam di desa Ceper Klaten, dimana terdapat 300 pengecoran logam dalam bermacam-macam ukuran, dia menemukan bahwa suatu sistem sub kontrak dan suatu sistem putting-out hidup pada waktu yang bersamaan dalam kluster pedesaan ini. Hubungan sub kontrak antara industri permesinan modern di kota dengan asembler besar pada puncak kulminasinya sudah mencapai lapisan bagian atas perusahaan di dalam kluster itu.
Beberapa keuntungan dari sub kontrak dikemukakan oleh beberapa manajer perusahaan yang disurvei, antara lain yang pertama adalah resiko bisnis rendah. Transaksi yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pembeli dan produk mengurangi total risiko bisnis dalam jangka panjang, dibanding keuntungan yang rendah dalam tiap order. Menurut mereka, rata-rata margin keuntungan dalam pesanan sub kontrak adalah 10-17.5%. Walaupun dalam sistem non sub kontrak seperti order insidental bisa diperoleh keuntungan yang lebih besar yaitu 30-60%, dengan resiko yang besar juga karena sering bertolak belakang dengan biaya-biaya dalam pembuatan cetakan yang hanya untuk penggunaan temporer, dan oleh kerugian dari ketidakberlanjutan yang tak diduga dari transaksi itu.
Keuntungan sub kontrak yang kedua adalah kemajuan teknologi. Seperti dilaporkan Sato (2000), melalui suatu hubungan sub kontrak yang berlanjut suatu perusahaan dapat membuat suatu rencana untuk meningkatkan kemampuan teknologinya. Usaha untuk peningkatan teknologi juga dirangsang oleh transaksi dengan asembler, terutama dengan cara magang di pabrik perakitan yang dilakukan oleh beberapa karyawan dan dengan pengiriman ahli mekanik oleh asembler ke perusahaan mereka.
•Kluster
Kluster di sini didefinisikan sebagai konsentrasi aktivitas yang memilki sub sektor yang sama. Kluster adalah suatu fenomena di Asia menyebut kluster sebagai industri tradisional yang khas yang menonjol di Pulau Jawa. Menurut data Departemen Perindustrian, sekitar 10,000 sampai 70,000 desa di Indonesia dicatatkan sebagai kluster industri. Lebih dari 40% kluster berlokasi di Jawa Tengah di mana industri tradisional terkluster di separuh dari keseluruhan desa yang ada.
Kluster biasanya terjadi secara spontan, tetapi sekarang ini juga didukung oleh institusi swasta dan/atau institusi publik. Ada beberapa faktor umum yang menentukan pembentukan kluster yaitu kedekatan dengan input atau pasar, ketersediaan infrastruktur fisik terutama jalan atau mungkin ada efek spillover atau demonstration effect, dimana suatu perusahaan yang sukses mempengaruhi peserta baru dalam industri itu. Kadang-kadang kebijakan pemerintah mungkin mempunyai suatu pengaruh langsung pada keberadaan mereka.
Dari hasil studi yang dilakukan oleh Weijland (1999) tentang kluster industri tradisional di pedesaan Indonesia, terlihat bahwa ada beberapa keuntungan potensial pengklusteran. Jika diukur dari kapasitas perusahaan individunya, industri tradisional pedesaan hanya mempunyai sedikit kekuatan, tetapi melalui pengembangan jaringan perdagangan dan kluster banyak dari permasalahan teknologi dan pemasarannya dapat dipecahkan. Penyatuan produksi (joint production) akan mengurangi biaya-biaya transaksi pembelian input dan biaya memasarkan output, dan oleh karena itu akan menarik minat pedagang. Kegiatan ini membantu memecahkan permasalahan keuangan yang mendesak pengusaha miskin. Pengklusteran juga mempermudah aliran informasi dan memudahkan order-sharing, labor-sharing dan sub-contracting. Untuk kluster yang lebih maju, aspek teknologi meningkat semakin penting dimana peralatan yang lebih mahal dan keterampilan khusus bisa dipakai bersama.
Ada banyak dokumentasi tentang kluster industri di Indonesia, seperti batik, tekstil, ukiran, rokok kretek, mebel, batu bata dan ubin, barang logam, barang-barang mesin, dan suplier otomotif. Apakah keberadaan kluster seperti itu berguna bagi efisiensi pengembangan UMKM adalah perihal yang lain. Hasil penelitian oleh Sandee (1995) yang dikutip oleh Weijland (1999) menemukan suatu mata rantai antara kluster dan berbagai efisiensi eksternal, seperti peningkatan kapasitas untuk berinovasi serta akses kepada input yang murah. Pemerintah juga akan lebih mudah untuk memberikan pelayanan kepada suatu kelompok perusahaan target yang terhimpun dalam suatu kluster.
Bukti dari negara berkembang menunjukkan bahwa secara mayoritas kluster perusahaan kecil bekerja sama hanya untuk suatu hal yang sangat terbatas. Ini terlihat dari hasil studi Sato (2000) tentang suatu kluster perusahaan pengecoran logam di Ceper Klaten. Dia, menemukan hubungan intra-kluster (kerja sama antar perusahaan) memiliki arti penting yang terbatas. Kebanyakan perusahaan tidak mengkhususkan pembelian input, produksi, koleksi informasi, dan penjualan output dilaksanakan secara individu. Bagaimanapun, kluster memilkik arti penting untuk pertumbuhan perusahaan kecil, sebab produktivitas di dalam kluster nampak lebih tinggi dibanding jika perusahaan menyebar. Salah satu pertimbangan yang utama adalah bahwa kluster merangsang keterlibatan aktif pedagang dan perusahaan besar di dalam aglomerasi perusahaan kecil. Pembelian sejumlah besar dari beberapa produsen kecil melalui suatu kunjungan tunggal mengurangi biaya-biaya transaksi. Lagipula, keterlibatan pedagang dan perusahaan besar mengurangi kebutuhan akan perusahaan kecil untuk mengembangkan kapasitas pemasaran mereka sendiri, yang sering merupakan suatu hambatan penting di dalam penetrasi ke dalam kota dan pasar internasional (Sandee, 1995 dalam Weijland, 1999 ).
•Ekspor
Seiring perputaran ekonomi adalah menjadi penting bagi kelompok perusahaan manapun untuk mampu memperoleh penjualan ekspor atau untuk bersaing secara efektif dengan impor yang tidak lagi harus melompati penganut proteksionisme. Ini secara luas dapat diterima bagi UMKM bahwa untuk berhasil dalam ekspor mereka harus mempunyai beberapa cara menekan biaya-biaya transaksi, yang mana cenderung untuk mempunyai suatu komponen biaya tetap. Sub kontrak adalah tahap pertama, apakah dengan pabrikan skala besar atau dengan para perantara komersil. Seperti diungkapkan oleh Berry dan Levy (1999) bahwa sub kontrak umumnya terjadi antar eksportir ukuran menengah dalam industri rotan, garmen dan mebel. Tahap kedua adalah dengan penuaian keuntungan dalam kluster. Semua studi menunjukkan kluster kecil yang berorientasi ekspor beroperasi pada pengendalian pembeli komoditas menuntut kemampuan beradaptasi dan upgrading yang berkelanjutan, yang pada gilirannya memerlukan suatu interaksi profesional pada spesifikasi produk antara para pembeli dan produsen (Knorringa 1998 dalam Berry at. al. 2001).
•TINJAUAN KEBIJAKAN PEMERINTAH
menyarankan suatu model pengembangan UMKM yang inovatif dan sukses dapat tercapai dengan terpenuhinya beberapa persyaratan berikut:
1. Beberapa kompetensi industri dasar berada dalam bidang aktivitas tertentu (seperti di kasus garmen atau produksi mebel)
2. Tercipta suatu lingkungan makro ekonomi yang kondusif, termasuk hal yang utama adalah nilai tukar yang kompetitif.
3. Tersedianya infrastruktur fisik yang baik dan layak, serta kedekatannya dengan fasilitas untuk ekspor dan impor yang berfungsi dengan baik dan nyaman.
4. Adanya bantuan teknis, disain, dan keahlian pemasaran yang menghubungkan produsen kecil ke gagasan baru dan pasar utama.
Kecuali unsur pertama, keempat unsur-unsur tersebut secara langsung berkaitan dengan kebijakan publik. Mereka juga bisa berbeda menurut pengaturan kelembagaan, sebagai contoh, kemunculan sub kontrak yang ditemukan dalam industri barang-barang mesin dan otomotif. Model yang umum dikembangkan di sini juga bisa diterapkan di dalam pertanian dan industri skala besar, di mana hambatan terhadap saluran pengembangan transfer teknologi biasanya lebih rendah dari kasus UMKM.
Pemerintah memainkan suatu peran penting dalam menyediakan suatu lingkungan makro ekonomi yang mendukung dan dengan cepat meningkatkan infrastruktur. Seperti di Bali, pemerintah lokal mengadopsi suatu kebijakan yang terbuka terhadap kehadiran usahawan asing, dan prosedur ekspor tidaklah terlalu membebani usahawan.
Hampir semua jenis intervensi untuk pertumbuhan industri kecil telah dicoba di Indonesia, antara lain kredit bersubsidi, program pelatihan (dalam keahlian teknis dan kewiraswastaan), penyuluhan, input bersubsidi, bantuan pemasaran, pengadaan infrastruktur, fasilitas umum, industri perkebunan, dan seterusnya. Ada banyak program bantuan keuangan dan teknis menyebar di berbagai kementerian dan sistem perbankan. Pembinaan (bimbingan) terhadap golongan ekonomi lemah adalah konsep dasar di masa lampau, masa kini dan mungkin masa depan dalam pendekatan kebijakan pemerintah. Akan menjadi sukar untuk menyempurnakan suatu perubahan dalam pendekatan kebijakan, terutama jika ada informasi yang sedikit tentang efektivitas dari program yang ada. Efektivitas dan sukses mereka secara khas terukur oleh apakah target tahunan telah tercapai lebih dari yang ditetapkan.
Namun demikian, bukti dari lapangan menunjukkan bahwa klaim tersebut tidak valid. Pertama, mayoritas perusahaan kecil tidak pernah menerima bantuan keuangan maupun teknis. Tingkat keikutsertaan perusahaan kecil dalam program bantuan sangat rendah. Seperti penemuan Sandee et. al. (1994) yang dikutip oleh Berry et. al. (2001) dimana untuk Jawa Tengah pada 1992 tingkat keikutsertaan perusahaan kecil di bawah 10%, sedangkan Musa dan Priatna (1998) yang juga dikutip oleh Berry et. a.l (2001) menyebutkan bahwa hanya 17% perusahaan kecil dalam provinsi terpilih yang benar-benar menggunakan berbagai jenis pinjaman bank.
Kedua, masih menurut Berry et. al. (2001) berdasarkan suatu tinjauan ulang oleh Sandee et. al. (1994) tentang bantuan keuangan dan teknis kepada enam kluster industri kecil mengungkapkan sedikit bukti dukungan pemerintah terhadap generasi tenaga kerja dan pertumbuhan perusahaan. Perusahaan yang menerima dan tidak menerima bantuan menunjukkan pola pertumbuhan yang serupa, menunjukkan adanya faktor lain yang menjelaskan pertumbuhan perusahaan. Tinjauan ulang juga menunjukkan bahwa kemungkinan bantuan yang diterima secara positif dan signifikan berhubungan dengan ukuran perusahaan, dan keberadaan produsen wanita.
Berbagai studi tentang kredit untuk industri kecil di Indonesia menekankan bahwa usahawan tidak mengeluh tentang tingkat bunga yang tinggi untuk kredit formal, tetapi akses mereka kepada kredit formal adalah suatu hambatan utama.
Sejak serangan krisis, berbagai program kredit baru dengan subsidi tingkat bunga telah diluncurkan, di dalam rangka pengurangan kemiskinan dan program jaring pengaman sosial. Untuk menerapkan kebijakan barunya untuk UMKM, pemerintah telah menyetujui perubahan kebijakan industri sehingga pertumbuhan UMKM lebih lanjut dan meningkatkan daya saing industri Indonesia. Perubahan yang dilakukan antara lain, pemerintah telah mengefektifkan bentuk kredit yang disubsidi untuk UMKM dan menyiapkan suatu kebijakan investasi kompetitif.
Beberapa peraturan yang ada memaksa UMKM untuk berhadapan secara eksklusif dengan perusahaan besar, ketika yang lainnya menciptakan barier to entry. Sebagai contoh, beberapa pelabuhan hanya diizinkan untuk menangani jenis muatan tertentu, meningkatkan biaya-biaya pengangkutan dan mengurangi daya saing eksportir, termasuk UMKM yang berorientasi ekspor. Akhirnya, beberapa peraturan diciptakan untuk menekan impor dan anti dumping, menciptakan praktek monopoli dalam sejumlah pasar yang menjadi input kunci industri seperti timah, minyak, kayu dan makanan pokok.
Seiring dengan pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis, para agen bantuan sudah menyesuaikan operasi mereka dari tanggapan jangka pendek ke pertumbuhan menengah. Arus diskusi lembaga donor dan sponsor atas pertumbuhan UMKM berkonsentrasi pada tiga isu. Pertama, ada penekanan pada penciptaan suatu lingkungan bisnis kompetitif yang akan lebih berguna bagi pertumbuhan perusahaan kecil. Implementasi anti monopoli dan hukum kebangkrutan dipertimbangkan sebagai arti penting dalam mengukur pertumbuhan perusahaan kecil dan besar, memastikan bahwa otoritas lokal menggunakan peraturan yang sederhana dan jelas yang mengurangi biaya-biaya transaksi dalam pengembangan usaha kecil. Kedua, pelurusan rencana kredit lebih lanjut telah dibahas, dengan tujuan terus meningkatkan akses ke pendukungan keuangan untuk investasi. Ketiga, jasa pertumbuhan bisnis adalah di bawah tinjauan ulang, dengan tujuan meningkatkan kinerja program bantuan teknis.
Program dan kegiatan pemberdayaan UMKM pada tahun 2004 dan 2005, antara lain ditunjukkan oleh tersusunnya berbagai rancangan peraturan perundangan, antara lain rancangan undang-undang (RUU) tentang penjaminan kredit UMKM dan RUU tentang subkontrak, RUU tentang perkreditan perbankan bagi UMKM, RPP tentang koperasi simpan pinjam (KSP); tersusunnya konsep pembentukan biro informasi kredit Indonesia; berkembangnya pelaksanaan unit pelayanan satu atap di berbagai kabupaten/kota; terbentuknya forum lintas pelaku pemberdayaan UKM di daerah; terselenggaranya bantuan sertifikasi hak atas tanah kepada lebih dari 40 ribu pengusaha mikro dan kecil di 24 propinsi; berkembangnya jaringan layanan pengembangan usaha oleh business development service (BDS) providers di daerah disertai terbentuknya asosiasi BDS providers Indonesia; meningkatnya kemampuan permodalan sekitar 1.500 unit KSP/USP di 416 kabupaten/kota termasuk KSP di sektor agribisnis; terbentuknya pusat promosi produk koperasi dan UMKM; serta dikembangkannya sistem insentif pengembangan UMKM berorientasi ekspor dan berbasis teknologi di bidang agroindustri. Hasil-hasil tersebut telah mendorong peningkatan peran koperasi dan UMKM terhadap perluasan penyediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan peningkatan pendapatan.
Kebijakan pemberdayaan UMKM pada tahun 2006 secara umum diarahkan untuk mendukung upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan, penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan ekspor, serta revitalisasi pertanian dan perdesaan, yang menjadi prioritas pembangunan nasional dalam tahun 2006. Dalam kerangka itu, pengembangan UKM diarahkan agar memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penciptaan kesempatan kerja, peningkatan ekspor dan peningkatan daya saing, sementara itu pengembangan usaha skala mikro diarahkan untuk memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah, khususnya di sektor pertanian dan perdesaan.
Seperti kesimpulan Hill (2001), tantangannya adalah untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah yang telah ditempuh tersebut mendukung pertumbuhan sektor industri dasar sehubungan dengan manfaat kompetisi Indonesia, dengan menciptakan program kebijakan UMKM dengan tujuan mencapai keadilan.

perusahaan yang pailit



Perselisihan antara Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dengan Crown Capital Global Limited (CCGL) perihal putusan TPI pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terus berkembang dilanjutkan munculnya kekhawatiran pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan TPI oleh kurator pailit TPI. Hal tersebut sangat berpengaruh pada hak karyawan yang dilindungi Undang-Undang No. 13 Tahun 2004 Tentang Ketenagakerjaan.
Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Syarat pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Undang-Undang tidak menentukan PHK sebagai akibat tunggal atas pailit. Oleh karena itu, putusan pailit tersebut memberikan dua kemungkinan alternatif bagi TPI. Pertama, meski telah dinyatakan pailit, kurator pailit TPI dapat tetap menjalankan kegiatan usahanya dengan konsekwensi tetap membayar biaya usaha seperti biaya listrik, telepon, biaya karyawan, pajak, dan biaya lainnya. Kedua, kurator pailit TPI berhak melakukan PHK dengan dasar pasal 165 UU Ketenagakerjaan.
Jika kurator pailit TPI tetap ingin melakukan kegiatan usahanya tanpa melakukan PHK, maka karyawan TPI tetap memiliki hak selayaknya karyawan pada umumnya. Hak karyawan yang telah dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan seperti pengupahan, penempatan tenaga kerja, perlindungan, kesejahteraan, dan lain-lain. Putusan TPI pailit tidak mengurangi hak karyawan karena TPI tetap melakukan kegiatan usahanya meski dengan tumpuan kurator. Namun apabila TPI pailit kemudian telah disepakati bersama untuk melakukan PHK, maka kurator pailit TPI harus mematuhi pasal 165 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.

Jika kurator pailit TPI memilih untuk melakukan PHK, maka ia harus memenuhi hak karyawan yang terlindungi dalam pasal 165 tersebut yaitu membayar uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan di atas.
Dalam hal pailit tersebut mengakibatkan TPI melakukan penutupan perusahaan (lock out) maka karyawan TPI berhak untuk merundingkannya dengan para pihak yang berselisih disertai arahan suatu instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (pasal 149 UU Ketenagakerjaan). Jika perundingan tersebut malah mengakibatkan penolakan sebagian atau seluruh karyawan menjalankan pekerjaan, maka karyawan berhak menuntut atas dasar pasal 146 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh”.
Apa pun tindakan yang akan diambil TPI (jika akhirnya) paska putusan pailit dijatuhkan padanya, TPI harus tetap memberikan apa yang menjadi hak daripada para karyawannya yang telah dilindungi UU Ketenagakerjaan. Mengingat sekitar 1085 karyawan menggantungkan hidupnya dari pekerjaan di TPI, TPI juga harus mengupayakan agar jangan sampai terjadi PHK. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan : “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”

pengembangan organisasi


PERUSAHAAN ORGANISASI KERJA SAMA
Secara sederhana, organisasi adalah suatu kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan dan mau terlibat dengan peraturan yang ada. Organisasi ialah suatu wadah atau tempat untuk melakukan kegiatan bersama, agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Ciri-ciri organisasi ialah:
1) terdiri daripada dua orang atau lebih
2) ada kerjasama
3) ada komunikasi antar satu anggota dengan yang lain
4) ada tujuan yang ingin dicapai.

Organisasi dapat dilihat dengan dua cara berbeda, yaitu:
1) organisasi sebagai suatu sistem terbuka yang terdiri atas sub-sistem yang saling berkaitan, dan memperoleh input untuk diolah yang berasal dari lingkungan serta menyalurkan output hasil pengolahan ke lingkungan kembali
2) organisasi sebagai sekelompok orang yang berkerjasama untuk mencapai suatu tujuan bersama.

Organisasi dapat diartikan dalam dua macam, yaitu:
• Dalam arti statis, yaitu organisasi sebagai wadah tempat dimana kegiatan kerjasama dijalankan.
• Dalam arti dinamis, yaitu organisasi sebagai suatu sistem proses interaksi antara orang-orang      yang bekerjasama, baik formal maupun informal.

Sinonim Organisasi
Institusi/lembaga:
Kelompok yang menampung aspirasi masyarakat; punya aturan tertulis atau tidak; tumbuh dalam masyarakat; mencapai tujuan bersama; dibentuk oleh pemerintah atau swasta.

Suatu organisasi harus memuat 4 unsur utama, yaitu:
1.berorientasi tujuan
2.sistem hubungan tujuan
3.struktur aktivitas
4.sistem teknologi
Pendekatan Terhadap Organisasi :
• Pendekatan Klasik
• Pendekatan Neo-Klasik
• Pendekatan Modern


Organisasi adalah wadah atau tempat terselenggaranya administrasi dimana didalamnya terjadi berbagai hubungan antar-individu maupun kelompok, baik dalam organisasi itu sendiri maupun keluar sehingga  terjadinya kerjasama dan pembagian tugas maka akan berlangsungnya proses aktivitas berdasarkan kinerja masing-masing.

METODE
Berarti suatu tata kerja yang dapat mencapai tujuan secara efisien
Rangkaian proses kegiatan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kegunaan segala sumber dan faktor yang menentukan bagi berhasilnya proses manajemen terutama dengan memperhatikan fungsi dan dinamika organisasi atau birokrasi dalam rangka mencapai tujuan yang sah ditetapkan
BENTUK ORGANISASI
1. Organisasi Garis
Bentuk organisasi tertua dan paling sederhana. Ciri-ciri bentuk organisasi ini adalah organisasinya masih kecil, jumlah karyawannya sedikit dan saling mengenal serta spesialisasi kerja belum tinggi.
2. Organisasi Garis dan staf
Dianut oleh organisasi besar, daerah kerjanya luas dan mempunyai bidang tugas yang beraneka ragam serta rumit dan jumlah karyawannya banyak. Staf yaitu orang yang ahli dalam bidang tertentu, tugasnya memberi nasihat dan saran dalam bidang kepada pejabat pimpinan di dalam organisasi.
3. Organisasi fungsional
Organisasi yang disusun atasdasar yang harus dilaksanakan organisasi ini dipakai pada perusahaan yang pembagian tugasnya dapat dibedakan dengan jelas.
4. Organisasi Panitia
Organisasi dibentuk hanya untuk sementara waktu saja, setelah tugas selesai maka selesailah organisasi tersebut.
5. Organisasi Lini dan Staf
Staf tugasnya memberi layanan dan nasihat kepada manager dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Tugas yang dilakukan oleh ini merupakan tugas-tugas pokok dari suatu organisasi atau perusahaan
PERAN ORGANISASI DAN METODE DALAM PERUSAHAAN
 Sebuah perusahaan tidaklah terlepas dari organisasi. Organisasi dalam perusahaan merupakan hal penting dalam mencapai perusahaan yang baik. Tata kelola yang baik adalah contoh dari organisasi yang berjalan baik dalam perusahaan.
“Dalam dunia bisnis yang penuh dengan persaingan dan perubahan yang sangat cepat, perusahaan perlu memiliki nilai lebih dan daya tarik industri bagi para stakeholders. Suatu tata kelola perusahaan yang baik sangat diperlukan untuk menjawab tantangan persaingan dan perubahan tersebut.” (PT. Semen Gresik (PERSERO) Tbk)
Peranan organisasi dalam perusahaan tidak beda dengan peranannya dalam kehidupan sehari-hari. Mampu memahami konsep organisasi sesuai dengan kegiatan tuntutan operasi tertentu serta mampu menyusun rancangan struktur organisasi perusahaan yang meliputi organigram, tugas pokok & fungsi kegiatan operasi unit organisasi untuk mencapai tujuan merupakan peranan organisasi dalam perusahaan. Sedangkan, tanpa metode, suatu tata kerja yang telah diorganisir secara baik, tidak akan mencapai tujuan secara efisien.

PERUSAHAAN ORGANISASI ANAK PERUSAHAAN
Ketika diterima oleh sebuah perusahaan untuk menjadi pengelola SDM, perusahaan ini sudah berdiri hampir 5 tahun dan saya adalah orang kelima yang menjadi pengelola SDM disitu. Sebagai orang baru tentunya kita harus melakukan identifikasi akan semua kegiatan yang berlangsung didalam perusahaan dan salah yang menjadi temuan adalah bahwa pada perusahaan ini tidak menggunakan pola kerja berdasarkan struktur organisasi perusahaan, semuanya hanya didasarkan pada pola kerja sehari-hari atau karena kebiasaan semata, itu artinya setiap karyawan tidak mempunyai atau mengetahui akan tugas dan tanggung jawabnya dalam bekerja, semua hanya atas perintah atasan saja. Ketidakjelasan mengenai pola kerja berdasarkan struktur organisasi perusahaan bukanlah hal yang mengherankan karena banyak perusahaan memang tidak melihat pola kerja ini sebagai sebuah kebutuhan tetapi banyak yang berfikiran bahwa pola kerja seperti ini hanya membatasi para karyawannya dalam melakukan pekerjaan. Sementara itu ada juga perusahaan yang dengan serius merancang dan membuat pola kerja berdasarkan struktur organisasi perusahaan bahkan untuk pengerjaannya diserahkan kepada sebuah konsultan, namun setelah semua selesai dibuat dan didokumentasikan dengan bagus, para pengelola perusahaan tidak menggunakannya sebagai acuan dalam operasional sehari-hari sehingga apa yang sudah dibuat dengan biaya yang tidak sedikit, jadi hiasan saja.
Sebenarnya keberadaan pola kerja dengan mengacu atau tergambar dalam struktur organisasi pernah mengindikasikan munculnya apa yang disebut pasar kurva kedua di awal abad keduapuluh ini. Berbeda dengan pasar sebelumnya (ia sebut pasar kurva pertama), pasar kurva kedua jauh lebih dinamis dan penuh ketakpastian. Hal itu terutama disebabkan berubah-ubahnya selera dan keinginan konsumen sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi. Dengan demikian, konsumen yang puas pada saat ini belum tentu puas di masa mendatang. Untuk tetap memuaskan konsumen, tidak ada cara lain kecuali terus mengikuti pergerakan selera dan keinginan mereka (responsif). Responsif tidaknya suatu perusahaan banyak dipengaruhi oleh struktur organisasi yang dimilikinya karena struktur organisasi pada dasarnya merupakan peta alur kerja di dalam perusahaan.
Permasalahan lain yang muncul adalah ketika membuat struktur organisasi hanya berdasarkan faktor subjektif karena harus mengakomodir berbagai kepentingan dari fihak-fihak tertentu sehingga struktur menjadi gemuk dan tidak effisien. Bila kita kaitkan dengan situasi saat ini tentunya organisasi perusahaan yang “gemuk” akan membuat semakin kompleks dan birokratis peta alur kerjanya, semakin berliku-liku alur kerja dan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk merespon perubahan pasar. Dengan kata lain, supaya responsif, perusahaan perlu memiliki struktur organisasi yang relatif sederhana dan tidak birokratis (ramping). Seperti apakah struktur yang ramping itu? Yang jelas tidak memiliki banyak posisi yang bisa menimbulkan duplikasi, dan tidak memiliki banyak tingkatan (jenjang) manajemen. Dengan demikian diperlukan adanya keberanian dari manajemen perusahaan untuk dapat menyusun struktur organisasi seobjektif mungkin. Akan tetapi ada persoalan lain yang kemudian akan muncul ketika struktur organisasi yang dibuat ramping adalah pada saat akan menempatkan personil pada sebuah jabatan, pada proses inilah biasanya kita akan mengalami dilema karena ada faktor subjektifitas, untuk itu kita harus cepat membuat peralatan yang mendukung proses penempatan, selain itu tentunya harus berani untuk menolak setiap “ titipan” dari pihak-pihak tertentu.
Pembuatan dan penyusunan struktur organisasi perusahaan akan lebih mudah dilakukan untuk perusahaan baru atau yang akan berdiri namun sebaliknya untuk perusahaan yang sudah eksis, perubahan struktur organisasi terutama dalam rangka perampingan tentu akan berdampak terhadap berlebihnya personil. Perusahaan tentu harus sudah dapat mengantisipasi dampak dari program perampingan dimaksud, dengan berbagai solusi yang bisa diterima oleh berbagai pihak, termasuk didalamnya para karyawan, sebagai ilustrasi dapat disampaikan bahwa pada era awal tahun 2000 dan mungkin sampai sekarang, banyak perusahaan di Indonesia maupun di Dunia yang melakukan langkah effisiensi dengan salah satu caranya adalah melaksanakan perampingan organisasi perusahaannya, langkah ini diambil karena mereka sudah tidak punya lagi pilihan yang terbaik untuk terus berkompetisi dalam mempertahankan kelangsungan perusahaan kedepan. Konsekuensi dari perampingan ini adalah adanya karyawan yang harus meninggalkan perusahaan atau terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Program PHK yang dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan besar dan menengah serta kecil, bervariasi dalam penanganannya dari yang menggunakan istilah “golden shakehand” sampai dengan ada yang pada akhirnya perusahaan mengalami masalah baru karena tidak baik dalam penanganannya.
Perkembangan teori organisasi perusahaan terus berlanjut sebagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan bisnis perusahaan diantaranya bahwa suatu organisasi perusahaan harus terus berkembang dengan hal-hal yang lebih effisien, sebagai upaya mengantisipasi persaingan usaha. Salah satu metoda yang diterapkan adalah merubah sistim atau untuk hal-hal tertentu yang selama ini dianut yaitu sentralisasi menjadi desentralisasi, antara lain memberikan otonomi dalam hal kewenangan kepada unit-unit tertentu di dalam perusahaan. Dengan demikian terjadi pemotongan birokrasi yang berliku-liku, dengan pengertian bahwa yang menjadi kewenangan unit tersebut bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu instruksi dari pusat.Dengan pola ini apabila unit-unit tersebut terus berkembang maka unit-unit itu akan berubah menjadi unit bisnis tersendiri sehingga pada suatu saat akan menjadi apa yang disebut sebagai anak perusahaan, ini adalah sebuah pola atau sistem pendirian perusahan dengan metoda pengembangan organisasi. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak anak-anak perusahaan bukan berasal dari unit bisnis tetapi dibentuk langsung menjadi anak perusahaan sehingga operasional anak perusahaan seperti anak sapi yang harus disusui oleh induknya, artinya ketergantungan terhadap induk perusahaan sangat besar.
Sebaliknya dari contoh diatas adalah adanya beberapa perusahaan yang menjadi satu (merger) dalam artian dalam satu wadah manajemen sehingga membentuk induk perusahaan (holding company), semua perusahaan itu menjadi anak perusahaan sehingga ada kewenangan-kewenangan yang diambil alih oleh induknya, dengan pola ini bisa dibayangkan akan terjadi pengurangan tugas dan wewenang dari perusahaan akibatnya tentu saja terjadi pengurangan tenaga pada lapis-lapis atas, mungkin saja setingkat direktur. Sebagai perbandingan untuk pola ini juga terjadi didalam dunia militer kita dimana jumlah kodam yang saat itu 27 buah dipersempit menjadi 10 kodam saja, dan itu masih belum ada perubahan sampai saat ini, artinya apa, bahwa telah terjadi bahwa puluhan jenderal akan menganggur atau menjadi pati di mabes AD alias non job. Hal ini akhirnya membentuk faksi-faksi atau kelompok-kelompok untuk saling berebut kekuasaan di dalam tubuh militer saat itu. Namun menurut saya dampak positipnya adalah terjadi persaingan untuk menjadi yang terbaik merupakan tantangan tersendiri bagi mereka yang masih mampu berpikir positip.
Contoh lain adalah dengan membuat organisasi horisontal, organisasi ini meminimalisasi keberadaan jabatan fungsional didalam perusahaan, yaitu dengan membentuk kelompok kerjadan memberikan otonomi untuk mengambil kebijakan sendiri yang penting target-target perusahaan yang diberikan kepada pokja-pokja ini dapat tercapai. Untuk diketahui bahwa pokja dibentuk hanya untuk alur kerja yang inti saja artinya seluruh pekerjaan utama dari hulu ke hilir dikerjakan oleh pokja. Namun seringkali pengembangan organisasi tidak sesuai dengan budaya kita atau juga SDM perusahaan belum siap menerima perubahan yang signifikan sehingga dalam operasional seringkali terjadi hambatan, baik dari sisi sistem maupun SDMnya.
Jika kita perhatikan dari uraian-uraian diatas, maka kita akan mendapat gambaran betapa membuat struktur orgnisasi perusahaan bukanlah pekerjaan yang mudah, karena selain faktor-faktor teknis ada juga faktor non-teknis yang harus diperhatikan, jadi wajar saja jika ada perusahaan yang tidak terlalu mementingkan keberadaan sebuah struktur organisasi karena seringkali terungkap bahwa untuk membuatnya saja sudah susah apalagi untuk melaksanakannya



INDONESIA – JEPANG KERJA SAMA DIBIDANG  KEHUTANAN



Disela-sela pertemuan ketiga Komite Persiapan Konferensi Tingkat Tinggi (sidang ketiga PrepCom KTT) Pembangunan Berkelanjutan di New York, Ketua Delegasi Jepang (Seiji Morimoto) menemui ketua DELRI yang dijabat Dirjen HELN Dep. Luar Negeri, untuk menyampaikan usulan kerjasama dalam bentuk partnership, khususnya di bidang illegal logging.
Terkait dengan hal ini, Pemerintah Jepang bermaksud menjajaki kemungkinan pertemuan dengan Departemen Kehutanan. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan pertama April 1996 di Tokyo.
Hubungan bilateral antara Indonesia dan Jepang bidang kehutanan telah dilakukan sejak akhir 1960, sebelum Indonesia menerapkan sistem HPH dalam pengelolaan hutannya, yaitu dengan dilaksanakannya proyek \"Mountain Logging Practice in Java\". Di samping kerjasama proyek, juga dilaksanakan kerjasama dalam bidang pendidikan dan pelatihan kerja, technical assistance, pengelolaan hutan, dan perdagangan hasil hutan. Kerjasama ini dilaksanakan baik melalui instansi pemerintah maupun lembaga non-pemerintah.
Saat ini kerjasama Indonesia dengan Jepang meliputi berbagai aspek bidang kehutanan, antara lain: bidang konservasi, pengembangan sumberdaya manusia, dan bidang reboisasi dan rehabilitasi hutan. Kerjasama dengan pemerintah Jepang dilakukan melalui kerjasama bilateral regional maupun multilateral dalam bentuk loan (pinjaman) dan grant (hibah). Kerjasama tersebut pada umumnya dalam bentuk grant-aid, technical assistance, serta pengiriman staf Departemen Kehutanan untuk mengikuti pendidikan, training, seminar dan kegiatan lainnya di Jepang.
Kerjasama bilateral Indonesia-Jepang dalam bentuk keproyekan yang sedang berjalan meliputi: Forest Fire Prevention Management Project; Carbon fixing forest management in Indonesia; Project for improvement of forest fire equipment in Indonesia; Biodiversity conservation project phase II; Mangrove information center project; Demonstration study on carbon fixing forest management in Indonesia; dan forest tree improvement project.
Kerjasama bilateral mendatang sebagai hasil dari kunjungan Duta Besar Kazuwo Asakai, akan dilakukan dalam kerangka Inisiatif Kerjasama Kehutanan Asia. Dalam hubungannya dengan pemberantasan illegal logging, penanggulangan kebakaran dan rehabilitasi hutan yang rusak. Model kerjasama bilateral Indonesia dan Jepang ini diharapkan akan menjadi kerangka acuan untuk negara-negara Asia lainnya.
Jepang memiliki hutan seluas 24,081 juts hektar (64% dari seluruh daratan yang ada). Luas hutan per kapita adalah 0,2 hektar hutan/kapita (Indonesia sekitar 0,75 hektar hutan/kapita). Kepemilikan dan pengelolaan hutan di Jepang dikelola oleh Public/Private Forest dan National Forest. Public forest yang luasnya sekitar 68%, dimiliki oleh pemerintah daerah (prefecture), kotamadya atau desa dengan luas 11% dari luas hutan. Private forest dimiliki oleh perorangan, perusahaan, organisasi, kuil, biara dsb, dengan luas sekitar 57% dari luas hutan. Sementara national forest pengelolaannya di bawah Forestry Agency, Ministry of Agriculture, Forestry & Fishery. Luas hutan yang dikelola Forestry Agency adalah 7,8 juta hektar. Forestry Agency juga membawahi Regional Office di masing-masing daerah (prefecture).
Di bidang industri dan perdagangan hasil hutan, total growing stock (1995) sebesar 3.482 juta m3 yang akan bertambah rata-rata 70 juta m3/tahun. Roundwood cenderung mengalami penurunan sekitar 5% setiap tahun sejak 1985. Produksi rata-rata 16 juta m3/ tahun yang berasal dari hutan rakyat yang dikelola koperasi. Angka produksi hanya memenuhi sekitar 14,5% dari total permintaan kayu rata-rata 110 juta m3/ tahun (roundwood equivalent) atau 0,88 m3/ kapita/tahun.
Kebijaksanaan utama pemerintah Jepang di bidang kehutanan adalah mendayagunakan sumber daya hutannya untuk perlindungan tata air dan konservasi tanah, konservasi sumber daya alam hayati, dan pemenuhan kebutuhan kayu dan hasil hutan lainnya bagi masyarakat Jepang tanpa mengganggu fungsi perlindungannya.
Sebagai latar belakang pemikiran tentang terbentuknya forum Kerjasama Kehutanan Asia adalah dilatarbelakangi oleh kesepakatan global tentang Manajemen hutan lestari yang merupakan salah satu hasil kesepakatan dalam Konferensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang diselenggarakan oleh PBB (United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) tahun 1992). Konferensi ini akan ditindaklanjuti dalam World Summit on Sustainble Development (WSSD) yang akan diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan dalam bulan Agustus 2002. Adapun maksud daripada kerjasama ini untuk mempromosikan manajemen hutan lestari di Asia. Inisiatif ini ditujukan untuk menegaskan komitmen politik dari berbagai negara yang memberikan perhatian dan mendorong agar negara-negara donor dan organisasi internasional lainnya dapat memberikan asistensinya. Inisiatif ini diharapkan juga dapat mendukung pelaksanaan manajemen hutan lestari dapat dilaksanakan oleh negara-negara Asia lainnya. Dengan dukungan dari partisipasi negara-negara donor. Diharapkan inisiatif ini akan dipromosikan sebagai aktivitas dalam deklarasi FLEG (United Nation and Forest Law Enforecment and Governance (FLEG).
Aktivitas yang akan ditangani adalah penegakan hukum di bidang kehutanan, pemerintahan yang bersih dan usaha-usaha manajemen hutan lestari seperti penanganan illegal logging serta reboisasi dan rehabilitasi hutan yang rusak. Khususnya untuk Indonesia, inisiatif ini diharapkan dapat mendukung program kehutanan nasional dalam upaya untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Seperti diketahui Indonesia memiliki lima prioritas program dalam rangka pengelolaan hutan lestari yaitu: pemberantasan ilegal logging, penanggulangan kebakaran, restrukturisasi kehutanan, percepatan pembangunan hutan tanaman, dan pelaksanaan desentralisasi kehutanan secara bertahap. Beberapa bidang yang akan ditangani dalam rangka Kerjasama Kehutanan Asia antara lain adalah:
1. Penggunaan data satelit untuk memberikan informasi dasar bagi pengelolaan hutan.
 2. Pengembangan kebijaksanaan kehutanan, perencanaan dan program termasuk program-program kehutanan nasional.
3. Partisipasi dari para stakeholder dan masyarakat lokal, serta sektor swasta kehutanan.
4. Peningkatan upaya penanganan reboisasi dan rehabilitasi hutan yang rusak.
5. Pengembangan dan menerapan reduce impact logging dan acuan untuk menanggulangi illegal logging.
6. Pelaksanaan lacak balak alas kayu bulat dan pengenalan pelaksanaan pelabelan.
7. Kerjasama intemasional dan koordinasi untuk statistik perdagangan, pertukaran informasi tentang illegal logging dan illegal trade.
8. Penumbuhan kesadaran melalui seminar internasional dalam rangka memberantas illegal logging dan penanaman pengertian atas keuntungan ganda dari hutan.
9. Pengembangan SDM.
10. Pengembangan kelembagaan dan institusi.
11. Pengembangan dan pengaturan tata guna hutan.
12. Koordinasi antar sektor.
13. Riset terhadap dampak illegal logging dan solusinya.
14. Pengembangan dan tukar menukar data dalam rangka penanganan illegal logging.
Diharapkan Kerjasama Kehutanan Asia ini dapat diikuti oleh pemerintah, organisasi internasional, LSM, perusahaan industri dan berbagai pihak yang berminat, dengan harapan dapat didukung dana dari berbagai macam sumber dana yang berasal dari partisipasi masyarakat maupun sektor swasta.

PERUSAHAAN ORGANISASI GO PUBLIK  
Belakangan ini pencarian dana melalui pasar modal terus menjadi prioritas.
Tahun 2008 baru berjalan satu bulan namun emiten yang telah mencatatkan dan memperdagangkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia sudah bertambah tiga perusahaan lagi. Demikian mudahkan … menjadi perusahaan publik?
Terus terang pertanyaan ini memang paling banyak dilontarkan orang. Bahkan ada yang melontarkan kalau untuk menjadi perusahaan publik sangat mudah, bisa-bisa saham yang diperdagangkan di BEI adalah perusahaan yang kinerjanya tidak sehat. Karenanya tidak sedikit dari pendapat itu yang kemudian berharap agar seleksi bagi emiten yang masuk bursa diperketat, dan jangan gampangan. Pendapat yang banyak beredar di tengah masyarakat itu tentunya menjadi harapan kita semua, segenap industri pasar modal, terlebih lagi pasar modal yang kini terus menjadi tumpuan bagi para pengembang modal (investor) serta para pencari modal. Sebagaimana yang kita ketahui, perusahaan yang tengah berkembang dan dalam tahap ekspansi membutuhkan banyak modal bagi usahanya itu. Di samping ke dunia perbankan, perusahaan-perusahaan yang tengah berkembang tersebut dapat menggunakan media pasar modal sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan modalnya itu. Belakangan ini, pencarian dana melalui pasar modal terus menjadi prioritas. Logikanya sangat sederhana, kalau meminjam ke pihak lain atau pihak bank tentunya bentuk dana yang diperoleh adalah pinjaman, sehingga perusahaan harus mengeluarkan biaya lagi, yakni membayar bunga pinjaman. Sedangkan bila mencari dana melalui pasar modal, praktis dana yang diperoleh adalah berupa modal, jadi tidak perlu ada bunga, sehingga dana yang diperoleh jauh lebih murah, dengan konsekwensi, pemegang saham lama harus kehilangan sebagian modal sahamnya, karena harus berbagi dengan publik (masyarakat) lain yang menyetorkan modal, dan sebagai buktinya adalah bukti kepemilikan yang berupa saham tersebut.
Pendanaan melalui mekanisme penawaran umum perusahaan terlebih dulu perusahaan harus menjual sahamnya kepada masyarakat (go public). Untuk go public, perusahaan perlu melakukan persiapan internal dan penyiapan dokumen sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Bapepam-LK.

Proses Go Public
BEI pada tahun 2008 ini menargetkan sekitar 30 emiten saham yang akan mencatatkan saham di BEI. Kendati target yang dipatok jumlahnya cukup banyak, bukan berarti untuk tercatat di BEI menjadi gampangan. Proses go public tetap menggunakan prosedur yang berlaku, sesuai dengan standar dan aturan yang berlaku, tanpa sedikit pun manajemen BEI terlibat di dalamnya. Karena memang dalam proses go public ini, pintu pertama yang harus dilakukan adalah Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Karena berdasarkan struktur dan UU Pasar Modal, lembaga pemerintah ini yang diberikan tanggung jawab terhadap proses go public hingga pasar perdana (pasar primer). Proses go public, secara sederhana dikatakan sebagai kegiatan penawaran saham atau efek lainnya yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual saham atau Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU Pasar Modal dan Peraturan Pelaksanaannya. Oleh karena penawaran umum sebuah aktivitas dari sebuah perusahaan maka setidaknya ada tahapan-tahapan yang mesti dikerjakan oleh perusahaan yang akan melakukan penawaran umum ini. Terlebih lagi penawaran umum tersebut mencakup penjualan saham di pasar perdana, penjatahan saham, pencatatan di bursa efek. Dari tahapan-tahapan tersebut BEI membagi beberapa tahapan kerja dari sebuah proses go public.
Tahap Persiapan
Tahapan ini merupakan tahapan awal dalam rangka mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses go public. Pada tahap persiapan ini yang paling utama yang harus dilakukan sebuah perusahaan yang akan go public adalah melakukan Rapat Umum Pemegang Saham terlebih dulu (RUPS). RUPS bagi sebuah perusahaan merupakan hak penting dan merupakan kaidah yang diatur dari UU Perseroan Terbatas. Go public harus disetujui terlebih dulu oleh pemegang saham. Karena go public akan melibatkan modal baru di luar pemegang saham yang ada maka perlu diputuskan apakah kehadiran modal baru itu nantinya akan mengubah masing-masing kepemilikan para pemegang saham lama. Berapa modal yang dibutuhkan, dan berapa modal yang mesti disetor masing-masing pemegang saham harus terjawab dan memperoleh persetujuan oleh pemegang saham lama. Mekanisme RUPS yang dilakukan perusahaan yang akan go public ini merupakan mekanisme RUPS sebagaimana yang ditetapkan leh UU PT.
Setelah memperoleh persetujuan go public ini maka perusahaan mulai mempersiapkan penjamin emisi (underwriter) dari perusahaan itu. Underwriter adalah perusahaan efek yang nantinya akan menjembatani perusahaan efek tersebut ke pasar modal. Sebagai penjamin maka perusahaan efek itu akan menyiapkan dokumen dan bersama dengan perusahaan menunjuk pihak-pihak seperti akuntan publik, konsultan hukum, notaris, perusahaan penilai (appraisal), dan faktor-faktor lain yang sifatnya adminsitrasi.

Akuntan publik dibutuhkan untuk menilai berbagai pernyataan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan, konsultan hukum, tentunya antara lain melakukan audit hukum atas aspek hukum dari bisnis, aset dan berbagai produk hukum yang pernah dikeluarkan dan yang akan dikeluarkan perusahaan. Sedangkan notaris ditunjuk antara lain untuk mencatat setiap keputusan yang diambil perusahaan daam rangka proses go public. Tugas notaris antara lain berkaitan dengan perubahan modal disetor Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
Appraisal atau perusahaan penilai bertugas untuk menilai aset perusahaan khususnya dari sisi nilai. Dengan adanya appraisal ini berarti bisa diketahui nilai perusahaan, nilai modal sehingga nantinya bersama dengan komponen-komponen lainnya, kinerja keuangan dan operasional bisa dikeluarkan nilai dan harga saham yang layak bila perusahaan itu akan go public.

Praktis dalam tahap persiapan ini yang melakukan pengolahan data-data perusahaan, tidak lagi manajemen atau direksi, apalagi pemegang saham pendiri yang banyak terlibat, tapi sudah orang-orang di luar perusahaan ikut terlibat. Pihak-pihak luar seperti underwriter, konsultan hukum, akuntan, appraisal dan notaris. Mereka itu merupakan pihak-pihak yang sudah memahami tugas dan fungsinya bagi perusahaan. Karena itu guna kelancaran proses go public sebuah perusahaan disarankan menggunakan profesi penunjang pasar modal yang memperoleh izin dari Bapepam-LK.
Tahap Pengajuan Pernyataan Pendaftaran
Dalam tahap ini, perusahaan bersama underwriter membawa dokumen yang terangkum dalam prospektus ringkas perusahaan ke Bapepam-LK. Prospektus ringkas merupakan keterangan ringkas mengenai perusahaan dalam minimal dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Untuk itu prospektus harus secara ringkas dan padat memuat berbagai informasi terkait dengan perusahaan, mulai dari company profile, kinerja operasional perusahaan seperti, neraca rugi laba, proyeksi kinerja perusahaan serta untuk kepentingan apa dana masyarakat itu dibutuhkan. Pada tahap ini jangan heran kalau perusahaan beserta penjamin emisinya, konsultan hukum, notaris dan akuntan publik serta appraisal, akan sering modar-mandir ke Bapepam-LK. Sebab pada tahap ini seluruh pernyataan para profesi pendukung pasar modal itu (notaris, konsultan hukum dan akuntan), termasuk appraisal dan penjamin emisi mulai diperiksa secara detil, satu per satu lengkap dengan dokumen pendukungnya. Pada tahap inilah seleksi tersebut berlangsung. Kalau penjamin emisi memperkirakan harga jual sahamya Rp 6.000 per saham, maka dokumen pendukung tentang itu harus ada, jelas dan transparan.
Aspek full disclosure akan mulai terungkap di sini. Jadi dapat dipastikan para profesi penunjang pasar modal itu, tidak akan main-main dalam memberikan pendapatnya. Meleset sedikit saja, atau berbeda dengan kaidah yang berlaku ancaman bagi para profesional pasar modal itu cukup berat, dan harus dibayar mahal. Adapun sanksinya bisa berupa denda hingga sanksi pidana atau pencabutan izin.

Tahap Penjualan Saham
Dipastikan kurang dari 38 hari Bapepam-LK sudah memberikan jawaban atas pernyataan pengajuan pendaftaran perusahaan yang akan go public ini. Kalau setelah melakukan pendaftaran dan tidak ada koreksi maka pada periode waktu tersebut, pernyataan tersebut otomatis menjadi efektif. Apabila perusahaan itu sudah dinyatakan efektif, berarti saham dari perusahaan itu sudah bisa dijual. Penjualan dilakukan melalui penawaran umum (initial public offering/IPO).
Dalam konteks pasar modal penjualan saham melalui mekanisme IPO ini disebut dengan penjualan saham di pasar perdana, atau biasa juga disebut dengan pasar perdana. Penjualan saham dalam pasar perdana mekanismenya diatur oleh penjamin emisi. Penjamin emisi yang akan melakukan penjualan kepada investor dibantu oleh agen penjual. Agen penjual adalah perusahaan efek atau pihak lain yang ditunjuk sebelumnya dan tercantum dalam prospektus ringkas. Oleh Bapepam-LK bagi perusahaan yang akan tercatat di BEI penjualan saham dalam IPO ini waktunya relatif terbatas, dua atau tiga hari saja. Tapi bagi perusahaan yang setelah menjual sahamnya tidak mencatatkan di BEI maka penjualan sahamnya bisa lebih lama lagi. Dan tentunya akan sangat tergantung dari prospektus yang diajukan pada pernyataan pendaftaran.

Hingga tahap IPO ini, perusahaan sudah bisa dinyatakan sebagai perusahaan publik. Gelar di belakang perusahaan menjadi Tbk (kependekan dari Terbuka). Sebagaimana diungkap sebelumnya, perusahaan bisa langsung mencatatkan sahamnya di BEI setelah IPO bisa juga tidak. Jadi setelah menjadi perusahaan public sama sekali tidak ada keharusan bagi saham sebuah perusahaan untuk langsung tercatat (listed). Ingat ketika PT Abdi Bangsa Tbk perusahaan penerbit harian Republika pertama kali go public tidak langsung tercatat di BEI, melainkan beberapa tahun kemudian. Kendati tidak langsung listing namun perusahaan yang telah IPO tersebut tetap mengikuti aturan mengenai keterbukaan di pasar modal. Itu berarti laporan keuangan, corporate action dan ketebukaan informasi lainnya harus disampaikan ke publik.
Tahap Pencatatan di BEI
Setelah melakukan penawaran umum, perusahaan yang sudah menjadi emiten itu akan langsung mencatatkan sahamnya maka yang perlu diperhatikan oleh perusahaan adalah apakah perusahaan yang melakukan IPO tersebut memenuhi ketentuan dan persyaratan yang berlaku di BEI (listing requirement). Kalau memenuhi persyaratan, maka perlu ditentukan papan perdagangan yang menjadi papan pencatatan emiten itu. Dewasa ini papan pencatatan BEI terdiri dari dua papan: Papan Utama (Main Board) dan Papan Pengembangan (Development Board). Sebagaimana namanya, papan utama merupakan papan perdagangan bagi emiten yang volume sahamnya cukup besar dengan kapitalisasi pasar yang besar, sedangkan papan pengembangan adalah khusus bagi pencatatan saham-saham yang tengah berkembang. Kendati terdapat dua papan pencatatan namun perdagangan sahamnya antara papan utama dan papan pengembangan sama sekali tidak berbeda, sama-sama dalam satu pasar.
Jadi perbedaaan papan perdagangan ini hanya membedakan ukuran perusahaan saja. Papan Utama ditujukan untuk emiten atau emiten yang mempunyai ukuran (size) besar dan lamanya menjalankan usaha utama sekurang-kurangnya 36 bulan berturut-turut. Sementara Papan Pengembangan dimaksudkan untuk perusahaan-perusahaan yang belum dapat memenuhi persyaratan pencatatan di Papan Utama, termasuk perusahaan yang prospektif namun belum menghasilkan keuntungan