Senin, 10 Oktober 2011

perusahaan yang pailit



Perselisihan antara Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dengan Crown Capital Global Limited (CCGL) perihal putusan TPI pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terus berkembang dilanjutkan munculnya kekhawatiran pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan TPI oleh kurator pailit TPI. Hal tersebut sangat berpengaruh pada hak karyawan yang dilindungi Undang-Undang No. 13 Tahun 2004 Tentang Ketenagakerjaan.
Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Syarat pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Undang-Undang tidak menentukan PHK sebagai akibat tunggal atas pailit. Oleh karena itu, putusan pailit tersebut memberikan dua kemungkinan alternatif bagi TPI. Pertama, meski telah dinyatakan pailit, kurator pailit TPI dapat tetap menjalankan kegiatan usahanya dengan konsekwensi tetap membayar biaya usaha seperti biaya listrik, telepon, biaya karyawan, pajak, dan biaya lainnya. Kedua, kurator pailit TPI berhak melakukan PHK dengan dasar pasal 165 UU Ketenagakerjaan.
Jika kurator pailit TPI tetap ingin melakukan kegiatan usahanya tanpa melakukan PHK, maka karyawan TPI tetap memiliki hak selayaknya karyawan pada umumnya. Hak karyawan yang telah dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan seperti pengupahan, penempatan tenaga kerja, perlindungan, kesejahteraan, dan lain-lain. Putusan TPI pailit tidak mengurangi hak karyawan karena TPI tetap melakukan kegiatan usahanya meski dengan tumpuan kurator. Namun apabila TPI pailit kemudian telah disepakati bersama untuk melakukan PHK, maka kurator pailit TPI harus mematuhi pasal 165 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.

Jika kurator pailit TPI memilih untuk melakukan PHK, maka ia harus memenuhi hak karyawan yang terlindungi dalam pasal 165 tersebut yaitu membayar uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan di atas.
Dalam hal pailit tersebut mengakibatkan TPI melakukan penutupan perusahaan (lock out) maka karyawan TPI berhak untuk merundingkannya dengan para pihak yang berselisih disertai arahan suatu instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (pasal 149 UU Ketenagakerjaan). Jika perundingan tersebut malah mengakibatkan penolakan sebagian atau seluruh karyawan menjalankan pekerjaan, maka karyawan berhak menuntut atas dasar pasal 146 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh”.
Apa pun tindakan yang akan diambil TPI (jika akhirnya) paska putusan pailit dijatuhkan padanya, TPI harus tetap memberikan apa yang menjadi hak daripada para karyawannya yang telah dilindungi UU Ketenagakerjaan. Mengingat sekitar 1085 karyawan menggantungkan hidupnya dari pekerjaan di TPI, TPI juga harus mengupayakan agar jangan sampai terjadi PHK. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan : “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar