Badai krisis ekonomi yang mulai terjadi pada pertengahan 1997 telah menerpa hampir semua sendi-sendi perekonomian dan bisnis di Indonesia. Hal ini dirasakan langsung oleh sektor perbankan dan bisnis korporasi, terbukti dengan ditutupnya operasi delapan buah bank secara bersamaan dan lumpuhnya unit-unit bisnis beraset milyaran hingga trilyunan rupiah. Akan tetapi tidak demikian halnya yang terjadi pada sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang ternyata memiliki kelenturan tersendiri menghadapi badai krisis tersebut. Hal ini antara lain disebabkan oleh tingginya local content pada faktor-faktor produksi mereka, baik pada penggunaan bahan baku maupun permodalan. Selain itu, usaha mereka pada umumnya berbasis pada basic needs masyarakat luas dan memiliki keunggulan komparatif.
Usaha mikro kecil dan menengah merupakan suatu subyek yang penting dalam analisa kebijakan pemerintah Indonesia, yang didasari oleh beberapa alasan (Hill, 2001). Pertama, UMKM di negara manapun memainkan suatu peran yang sangat penting di dalam pembangunan ekonomi. Mereka secara khas mempekerjakan 60% atau lebih banyak lapangan kerja industri dan menghasilkan sampai separuh output. UMKM merupakan suatu komponen penting dalam proses industrialisasi yang lebih luas.
Kedua, UMKM merupakan sarana untuk mempromosikan bisnis pribumi dan oleh karena itu sebagai alat redistribusi aset secara etnik. Lebih umum lagi, ada suatu pemisahan antara standar pendekatan ahli ekonomi terhadap intervensi kebijakan, yang menekankan solusi orientasi pasar sebagai kunci pembangunan ekonomi yang cepat.
Ketiga, tidak bisa diasumsikan bahwa jenis kebijakan yang sama yang dikeluarkan untuk industri besar akan berlaku bagi UMKM. UMKM menunjukkan suatu konsentrasi aktivitas khusus dalam industri. Mereka biasanya memperlihatkan suatu konsentrasi yang lebih sedikit di sekitar pusat kota dibandingkan dengan perusahaan besar. Hanya sebagian kecil UMKM yang dimiliki oleh orang asing (atau pemerintah) dan hanya sedikit yang berorientasi ekspor, paling tidak ekspor langsung.
Keempat, pengalaman internasional menyatakan bahwa sektor UMKM kondusif bagi pertumbuhan industri yang cepat dan merupakan struktur industri yang fleksibel. Taiwan sering dijadikan sebagai suatu contoh perekonomian yang dibangun atas dasar sektor UMKM yang efisien.
Thee (1993 : 109) mengemukakan bahwa pengembangan industri kecil adalah cara yang dinilai besar peranannya dalam pengembangan industri manufaktur. Pengembangan industri berskala kecil akan membantu mengatasi masalah pengangguran mengingat teknologi yang digunakan adalah teknologi padat karya, sehingga bisa memperbesar lapangan kerja dan kesempatan usaha, yang pada gilirannya mendorong pembangunan daerah dan kawasan pedesaan.
Akhirnya, sekarang ada minat tertentu terhadap UMKM di Indonesia karena sektor ini nampak mampu menghadapi krisis ekonomi 1997-1998 dengan lebih baik daripada unit industri yang lebih besar.
•DEFINISI USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH
Di Indonesia, terdapat beberapa definisi yang berbeda-beda tentang UMKM. Pendefinisian ini antara lain dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, Departemen Koperasi dan UKM, Bank Indonesia, dan juga oleh Bank Dunia.
UMKM di Indonesia memiliki karakteristik yang hampir seragam. Menurut Kuncoro (2007) ada empat karakteristik yang dimiliki oleh kebanyakan UMKM di Indonesia. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan yang memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, rendahnya akses terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang, perantara, bahkan rentenir. Ketiga, sebagian besar usaha ini belum memiliki status badan hukum. Keempat, hampir sepertiga UMKM bergerak pada kelompok usaha makanan, minuman, dan tembakau (ISIC31), barang galian bukan logam (ISIC36), tekstil (ISIC32), dan industri kayu, bambu, rotan, rumput, dan sejenisnya termasuk perabot rumah tangga (ISIC33).
Di Indonesia, terdapat beberapa definisi yang berbeda-beda tentang UMKM. Pendefinisian ini antara lain dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, Departemen Koperasi dan UKM, Bank Indonesia, dan juga oleh Bank Dunia.
UMKM di Indonesia memiliki karakteristik yang hampir seragam. Menurut Kuncoro (2007) ada empat karakteristik yang dimiliki oleh kebanyakan UMKM di Indonesia. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan yang memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, rendahnya akses terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang, perantara, bahkan rentenir. Ketiga, sebagian besar usaha ini belum memiliki status badan hukum. Keempat, hampir sepertiga UMKM bergerak pada kelompok usaha makanan, minuman, dan tembakau (ISIC31), barang galian bukan logam (ISIC36), tekstil (ISIC32), dan industri kayu, bambu, rotan, rumput, dan sejenisnya termasuk perabot rumah tangga (ISIC33).
usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan. Namun demikian disadari pula bahwa pengembangan usaha kecil menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, keterampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumber daya manusia mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik.
Secara lebih spesifik, ada beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi peungusaha kecil (Kuncoro, 2007 : 368). Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil. Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan dan kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Dengan demikian untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam rangka pemberdayaan UMKM, maka diperlukan beberapa langkah strategis yang terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran makro maupun mikro yang meliputi:
Secara lebih spesifik, ada beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi peungusaha kecil (Kuncoro, 2007 : 368). Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil. Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan dan kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Dengan demikian untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam rangka pemberdayaan UMKM, maka diperlukan beberapa langkah strategis yang terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran makro maupun mikro yang meliputi:
1. Penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi melalui kebijakan yang memudahkan dalam formalisasi dan perijinan usaha, antara lain dengan mengembangkan pola pelayanan satu atap untuk memperlancar proses dan mengurangi biaya perijinan.
2. Pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada pasar yang lebih luas dan berorientasi ekspor serta akses kepada sumber daya produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia.
3. Pengembangan budaya usaha dan kewirausahaan, terutama di kalangan angkatan kerja muda, melalui pelatihan, bimbingan konsultasi dan penyuluhan. Pelatihan diutamakan pada bidang yang sesuai dengan unit usaha yang menjadi andalan. Selain itu juga diperlukan pelatihan manajerial karena pada umumnya pengusaha kecil lemah dalam kemampuan manajemen dan banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terdidik.
4. Diperlukan usaha pemerintah daerah untuk mengupayakan suatu pola kemitraan bagi UMKM agar lebih mampu berkembang, baik dalam konteks sub kontrak maupun pembinaan yang mengarah ke pembentukan kluster yang bisa mendorong UMKM untuk berproduksi dengan orientasi ekspor.
5. Untuk mengatasi kesulitan permodalan, diperlukan peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas layanan lembaga keuangan lokal dalam menyediakan alternatif sumber pembiayaan bagi UMKM dengan prosedur yang tidak sulit. Di samping itu, agar lembaga pembiayaan untuk sektor UMKM menjadi lebih kuat dan tangguh, jaringan antar lembaga keuangan mikro (LKM) dan antara LKM dan Bank juga perlu dikembangkan.
•TREND UMKM DI INDONESIA
Konsentrasi UMKM kecenderungannya berada di luar kota utama dan pusat industri. Share UMKM dalam output industri di Jakarta adalah di bawah rata-rata nasional, meskipun sedikit di bawah kasus ketenaga-kerjaan. Sebagian dari provinsi yang mempunyai suatu tradisi yang kuat tentang usaha skala kecil, yaitu pengusaha kecil pedesaan di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali memiliki share UMKM yang lebih tinggi, seperti halnya sebagian provinsi yang lebih terpencil seperti Nusa Tenggara dan beberapa bagian dari Sulawesi. Tetapi di beberapa provinsi yang lebih mudah terindustrialisasi, seperti yang ada di Kalimantan, juga mempunyai share UMKM yang rendah. Bagian dari penjelasan untuk pola yang tak diduga ini adalah bahwa sejumlah kecil industri di mana perusahaan besar lebih dominan seperti pupuk dan plywood mencatat sebagian besar nilai tambah industri regional. Jika industri ini tidak dimasukkan, atau jika sejumlah kecil konsentrasi regional di mana mereka dikeluarkan, suatu pola UMKM yang dominan akan muncul.
Dilihat dari persentase kontribusi tenaga kerja dan nilai tambah antar propinsi di Indonesia, untuk tahun 1999, Propinsi Jawa Tengah memilki kontribusi paling besar dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia
Konsentrasi UMKM kecenderungannya berada di luar kota utama dan pusat industri. Share UMKM dalam output industri di Jakarta adalah di bawah rata-rata nasional, meskipun sedikit di bawah kasus ketenaga-kerjaan. Sebagian dari provinsi yang mempunyai suatu tradisi yang kuat tentang usaha skala kecil, yaitu pengusaha kecil pedesaan di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali memiliki share UMKM yang lebih tinggi, seperti halnya sebagian provinsi yang lebih terpencil seperti Nusa Tenggara dan beberapa bagian dari Sulawesi. Tetapi di beberapa provinsi yang lebih mudah terindustrialisasi, seperti yang ada di Kalimantan, juga mempunyai share UMKM yang rendah. Bagian dari penjelasan untuk pola yang tak diduga ini adalah bahwa sejumlah kecil industri di mana perusahaan besar lebih dominan seperti pupuk dan plywood mencatat sebagian besar nilai tambah industri regional. Jika industri ini tidak dimasukkan, atau jika sejumlah kecil konsentrasi regional di mana mereka dikeluarkan, suatu pola UMKM yang dominan akan muncul.
Dilihat dari persentase kontribusi tenaga kerja dan nilai tambah antar propinsi di Indonesia, untuk tahun 1999, Propinsi Jawa Tengah memilki kontribusi paling besar dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia
Perkembangan peran UMKM yang besar ditunjukkan oleh jumlah unit usaha dan pengusaha, serta kontribusinya terhadap pendapatan nasional, dan penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2003, persentase jumlah UMKM sebesar 99,9 persen dari seluruh unit usaha, yang terdiri dari usaha menengah sebanyak 62,0 ribu unit usaha dan jumlah usaha kecil sebanyak 42,3 juta unit usaha yang sebagian terbesarnya berupa usaha skala mikro. Pada tahun 2004 jumlah UMKM diperkirakan telah melampaui 44 juta unit UMKM dan telah menyerap lebih dari 79,0 juta tenaga kerja atau 99,5 persen dari jumlah tenaga kerja pada tahun yang sama. Jumlah tenaga kerja ini meningkat rata-rata sebesar 3,10 persen per tahunnya dari posisi tahun 2000. Kontribusi UMKM dalam produk domestik bruto pada tahun 2003 adalah sebesar 56,7 persen dari total PDB nasional, naik dari 54,5 persen pada tahun 2000.
•SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN PRODUKTIVITAS UMKM
Peningkatan produktivitas (tenaga kerja atau total faktor produksi) dicapai melalui mekanisme yg bervariasi. Upgrading teknologi adalah satu di antaranya dan dalam pengertian yang lebih luas, meliputi tidak hanya permesinan yang lebih baik tetapi juga peningkatan dalam area seperti tempat kerja organisasi, penanganan inventori dan disain produk. Adalah dapat diterima bahwa perusahaan kecil akan sedikit lebih mampu menangani proses ini dengan sukses dengan kehendak mereka sendiri dibanding perusahaan besar. Maka, banyak perhatian telah diberikan kepada kemungkinan peran kluster dan sub kontrak dan aturan yang mendukung perkembangannya yang dengan mudah dapat diakses oleh perusahaan kecil, dan sistem pendukungan kolektif, mencakup sektor publik dan asosiasi swasta.
Peningkatan produktivitas (tenaga kerja atau total faktor produksi) dicapai melalui mekanisme yg bervariasi. Upgrading teknologi adalah satu di antaranya dan dalam pengertian yang lebih luas, meliputi tidak hanya permesinan yang lebih baik tetapi juga peningkatan dalam area seperti tempat kerja organisasi, penanganan inventori dan disain produk. Adalah dapat diterima bahwa perusahaan kecil akan sedikit lebih mampu menangani proses ini dengan sukses dengan kehendak mereka sendiri dibanding perusahaan besar. Maka, banyak perhatian telah diberikan kepada kemungkinan peran kluster dan sub kontrak dan aturan yang mendukung perkembangannya yang dengan mudah dapat diakses oleh perusahaan kecil, dan sistem pendukungan kolektif, mencakup sektor publik dan asosiasi swasta.
•Sumber Peningkatan Teknologi
Berry dan Levy (1999) dalam Berry et. al. (2001) menjelaskan bahwa dari analisa mereka tentang sumber kemampuan teknologi untuk UMKM eksportir mebel rotan, garmen dan mebel kayu, ada beberapa sumber peningkatan teknologi. Salah satunya adalah saluran pribadi (yaitu suplier peralatan atau pembeli), yang telah menjadi mekanisme yang dominan untuk memperoleh kemampuan teknis di ketiga sektor. Para pembeli asing menjadi sumber yang paling utama dari pendukungan teknologi luar (dan pendampingan pemasaran luar) di ketiga industri. Karyawan ekspatriat menjadi sumber paling utama yang kedua dari kapasitas teknologi di dalam industri garmen dan rotan, dua industri di mana Indonesia telah muncul sebagai produsen penting. Para suplier peralatan dinilai sebagai sumber kedua penyedia informasi teknologi yang bermanfaat. Di sisi lain, konsultan pribadi dinilai memiliki arti penting yang terbatas seperti penyedia sektor publik, asosiasi industri dan “bapak angkat”.
Kedua, sub kontrak dapat meresap dalam ketiga industri, dan telah menjadi krusial, untuk memanfaatkan ketrampilan tradisional untuk produksi ekspor. Ketiga, tenaga kerja ekspatriat adalah suatu mekanisme yang kuat untuk memperoleh kemampuan teknologi di sektor garmen dan rotan, tetapi praktek ini dipusatkan tak sebanding antar usahawan non-pribumi (sebagian besar Cina) yang memperoleh keuntungan dari embel-embel komunitas etnik.
Berry dan Levy (1999) dalam Berry et. al. (2001) menjelaskan bahwa dari analisa mereka tentang sumber kemampuan teknologi untuk UMKM eksportir mebel rotan, garmen dan mebel kayu, ada beberapa sumber peningkatan teknologi. Salah satunya adalah saluran pribadi (yaitu suplier peralatan atau pembeli), yang telah menjadi mekanisme yang dominan untuk memperoleh kemampuan teknis di ketiga sektor. Para pembeli asing menjadi sumber yang paling utama dari pendukungan teknologi luar (dan pendampingan pemasaran luar) di ketiga industri. Karyawan ekspatriat menjadi sumber paling utama yang kedua dari kapasitas teknologi di dalam industri garmen dan rotan, dua industri di mana Indonesia telah muncul sebagai produsen penting. Para suplier peralatan dinilai sebagai sumber kedua penyedia informasi teknologi yang bermanfaat. Di sisi lain, konsultan pribadi dinilai memiliki arti penting yang terbatas seperti penyedia sektor publik, asosiasi industri dan “bapak angkat”.
Kedua, sub kontrak dapat meresap dalam ketiga industri, dan telah menjadi krusial, untuk memanfaatkan ketrampilan tradisional untuk produksi ekspor. Ketiga, tenaga kerja ekspatriat adalah suatu mekanisme yang kuat untuk memperoleh kemampuan teknologi di sektor garmen dan rotan, tetapi praktek ini dipusatkan tak sebanding antar usahawan non-pribumi (sebagian besar Cina) yang memperoleh keuntungan dari embel-embel komunitas etnik.
•Sub Kontrak
Sub kontrak telah memainkan suatu peran penting dalam pengintegrasian UMKM ke dalam sektor manufaktur dinamis di negara-negara seperti Korea dan Jepang. Dalam suatu studi industri mebel di Jepara, Sandee et. al. (2000) seperti dikutip oleh Berry et. al.(2001), menemukan satu fungsi dari kapasitas intern antar eksportir akan melakukan pengendalian mutu dan untuk menentukan subkontraktor baru yang mampu dari karyawan mereka.
Sub kontrak didukung oleh pesanan ekspor besar, order yang berfluktuasi, dan resiko yang berhubungan dengan suatu investasi berat oleh perusahaan tunggal. Dalam keadaan demikian biaya-biaya yang lebih rendah bisa dicapai oleh subkontraktor sebab mereka membayar gaji yang lebih rendah dibanding perusahaan besar, mereka mengkhususkan di dalam tugas spesifik yang dilaksanakan secara sangat efisien, dan mereka mampu mengurangi biaya-biaya modal dengan berbagi peralatan dengan perusahaan tetangga. Kekerabatan, persahabatan atau kontak bisnis sebelumnya juga mendorong sub kontrak.
Studi Supratikno (1998) yang dikutip oleh Berry et. al. (2001) tentang pengaturan sub kontrak di dalam tiga perusahaan menemukan bahwa perusahaan yang besar akan mengontrak ke perusahaan kecil beberapa item yang mempunyai nilai tambah rendah, yang memerlukan banyak input tenaga kerja, dan tidak begitu penting terhadap keseluruhan proses produksi.
Dalam studi yang dilakukan oleh Sato (2000) terhadap industri pengecoran logam di desa Ceper Klaten, dimana terdapat 300 pengecoran logam dalam bermacam-macam ukuran, dia menemukan bahwa suatu sistem sub kontrak dan suatu sistem putting-out hidup pada waktu yang bersamaan dalam kluster pedesaan ini. Hubungan sub kontrak antara industri permesinan modern di kota dengan asembler besar pada puncak kulminasinya sudah mencapai lapisan bagian atas perusahaan di dalam kluster itu.
Beberapa keuntungan dari sub kontrak dikemukakan oleh beberapa manajer perusahaan yang disurvei, antara lain yang pertama adalah resiko bisnis rendah. Transaksi yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pembeli dan produk mengurangi total risiko bisnis dalam jangka panjang, dibanding keuntungan yang rendah dalam tiap order. Menurut mereka, rata-rata margin keuntungan dalam pesanan sub kontrak adalah 10-17.5%. Walaupun dalam sistem non sub kontrak seperti order insidental bisa diperoleh keuntungan yang lebih besar yaitu 30-60%, dengan resiko yang besar juga karena sering bertolak belakang dengan biaya-biaya dalam pembuatan cetakan yang hanya untuk penggunaan temporer, dan oleh kerugian dari ketidakberlanjutan yang tak diduga dari transaksi itu.
Keuntungan sub kontrak yang kedua adalah kemajuan teknologi. Seperti dilaporkan Sato (2000), melalui suatu hubungan sub kontrak yang berlanjut suatu perusahaan dapat membuat suatu rencana untuk meningkatkan kemampuan teknologinya. Usaha untuk peningkatan teknologi juga dirangsang oleh transaksi dengan asembler, terutama dengan cara magang di pabrik perakitan yang dilakukan oleh beberapa karyawan dan dengan pengiriman ahli mekanik oleh asembler ke perusahaan mereka.
Sub kontrak telah memainkan suatu peran penting dalam pengintegrasian UMKM ke dalam sektor manufaktur dinamis di negara-negara seperti Korea dan Jepang. Dalam suatu studi industri mebel di Jepara, Sandee et. al. (2000) seperti dikutip oleh Berry et. al.(2001), menemukan satu fungsi dari kapasitas intern antar eksportir akan melakukan pengendalian mutu dan untuk menentukan subkontraktor baru yang mampu dari karyawan mereka.
Sub kontrak didukung oleh pesanan ekspor besar, order yang berfluktuasi, dan resiko yang berhubungan dengan suatu investasi berat oleh perusahaan tunggal. Dalam keadaan demikian biaya-biaya yang lebih rendah bisa dicapai oleh subkontraktor sebab mereka membayar gaji yang lebih rendah dibanding perusahaan besar, mereka mengkhususkan di dalam tugas spesifik yang dilaksanakan secara sangat efisien, dan mereka mampu mengurangi biaya-biaya modal dengan berbagi peralatan dengan perusahaan tetangga. Kekerabatan, persahabatan atau kontak bisnis sebelumnya juga mendorong sub kontrak.
Studi Supratikno (1998) yang dikutip oleh Berry et. al. (2001) tentang pengaturan sub kontrak di dalam tiga perusahaan menemukan bahwa perusahaan yang besar akan mengontrak ke perusahaan kecil beberapa item yang mempunyai nilai tambah rendah, yang memerlukan banyak input tenaga kerja, dan tidak begitu penting terhadap keseluruhan proses produksi.
Dalam studi yang dilakukan oleh Sato (2000) terhadap industri pengecoran logam di desa Ceper Klaten, dimana terdapat 300 pengecoran logam dalam bermacam-macam ukuran, dia menemukan bahwa suatu sistem sub kontrak dan suatu sistem putting-out hidup pada waktu yang bersamaan dalam kluster pedesaan ini. Hubungan sub kontrak antara industri permesinan modern di kota dengan asembler besar pada puncak kulminasinya sudah mencapai lapisan bagian atas perusahaan di dalam kluster itu.
Beberapa keuntungan dari sub kontrak dikemukakan oleh beberapa manajer perusahaan yang disurvei, antara lain yang pertama adalah resiko bisnis rendah. Transaksi yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pembeli dan produk mengurangi total risiko bisnis dalam jangka panjang, dibanding keuntungan yang rendah dalam tiap order. Menurut mereka, rata-rata margin keuntungan dalam pesanan sub kontrak adalah 10-17.5%. Walaupun dalam sistem non sub kontrak seperti order insidental bisa diperoleh keuntungan yang lebih besar yaitu 30-60%, dengan resiko yang besar juga karena sering bertolak belakang dengan biaya-biaya dalam pembuatan cetakan yang hanya untuk penggunaan temporer, dan oleh kerugian dari ketidakberlanjutan yang tak diduga dari transaksi itu.
Keuntungan sub kontrak yang kedua adalah kemajuan teknologi. Seperti dilaporkan Sato (2000), melalui suatu hubungan sub kontrak yang berlanjut suatu perusahaan dapat membuat suatu rencana untuk meningkatkan kemampuan teknologinya. Usaha untuk peningkatan teknologi juga dirangsang oleh transaksi dengan asembler, terutama dengan cara magang di pabrik perakitan yang dilakukan oleh beberapa karyawan dan dengan pengiriman ahli mekanik oleh asembler ke perusahaan mereka.
•Kluster
Kluster di sini didefinisikan sebagai konsentrasi aktivitas yang memilki sub sektor yang sama. Kluster adalah suatu fenomena di Asia menyebut kluster sebagai industri tradisional yang khas yang menonjol di Pulau Jawa. Menurut data Departemen Perindustrian, sekitar 10,000 sampai 70,000 desa di Indonesia dicatatkan sebagai kluster industri. Lebih dari 40% kluster berlokasi di Jawa Tengah di mana industri tradisional terkluster di separuh dari keseluruhan desa yang ada.
Kluster biasanya terjadi secara spontan, tetapi sekarang ini juga didukung oleh institusi swasta dan/atau institusi publik. Ada beberapa faktor umum yang menentukan pembentukan kluster yaitu kedekatan dengan input atau pasar, ketersediaan infrastruktur fisik terutama jalan atau mungkin ada efek spillover atau demonstration effect, dimana suatu perusahaan yang sukses mempengaruhi peserta baru dalam industri itu. Kadang-kadang kebijakan pemerintah mungkin mempunyai suatu pengaruh langsung pada keberadaan mereka.
Dari hasil studi yang dilakukan oleh Weijland (1999) tentang kluster industri tradisional di pedesaan Indonesia, terlihat bahwa ada beberapa keuntungan potensial pengklusteran. Jika diukur dari kapasitas perusahaan individunya, industri tradisional pedesaan hanya mempunyai sedikit kekuatan, tetapi melalui pengembangan jaringan perdagangan dan kluster banyak dari permasalahan teknologi dan pemasarannya dapat dipecahkan. Penyatuan produksi (joint production) akan mengurangi biaya-biaya transaksi pembelian input dan biaya memasarkan output, dan oleh karena itu akan menarik minat pedagang. Kegiatan ini membantu memecahkan permasalahan keuangan yang mendesak pengusaha miskin. Pengklusteran juga mempermudah aliran informasi dan memudahkan order-sharing, labor-sharing dan sub-contracting. Untuk kluster yang lebih maju, aspek teknologi meningkat semakin penting dimana peralatan yang lebih mahal dan keterampilan khusus bisa dipakai bersama.
Ada banyak dokumentasi tentang kluster industri di Indonesia, seperti batik, tekstil, ukiran, rokok kretek, mebel, batu bata dan ubin, barang logam, barang-barang mesin, dan suplier otomotif. Apakah keberadaan kluster seperti itu berguna bagi efisiensi pengembangan UMKM adalah perihal yang lain. Hasil penelitian oleh Sandee (1995) yang dikutip oleh Weijland (1999) menemukan suatu mata rantai antara kluster dan berbagai efisiensi eksternal, seperti peningkatan kapasitas untuk berinovasi serta akses kepada input yang murah. Pemerintah juga akan lebih mudah untuk memberikan pelayanan kepada suatu kelompok perusahaan target yang terhimpun dalam suatu kluster.
Bukti dari negara berkembang menunjukkan bahwa secara mayoritas kluster perusahaan kecil bekerja sama hanya untuk suatu hal yang sangat terbatas. Ini terlihat dari hasil studi Sato (2000) tentang suatu kluster perusahaan pengecoran logam di Ceper Klaten. Dia, menemukan hubungan intra-kluster (kerja sama antar perusahaan) memiliki arti penting yang terbatas. Kebanyakan perusahaan tidak mengkhususkan pembelian input, produksi, koleksi informasi, dan penjualan output dilaksanakan secara individu. Bagaimanapun, kluster memilkik arti penting untuk pertumbuhan perusahaan kecil, sebab produktivitas di dalam kluster nampak lebih tinggi dibanding jika perusahaan menyebar. Salah satu pertimbangan yang utama adalah bahwa kluster merangsang keterlibatan aktif pedagang dan perusahaan besar di dalam aglomerasi perusahaan kecil. Pembelian sejumlah besar dari beberapa produsen kecil melalui suatu kunjungan tunggal mengurangi biaya-biaya transaksi. Lagipula, keterlibatan pedagang dan perusahaan besar mengurangi kebutuhan akan perusahaan kecil untuk mengembangkan kapasitas pemasaran mereka sendiri, yang sering merupakan suatu hambatan penting di dalam penetrasi ke dalam kota dan pasar internasional (Sandee, 1995 dalam Weijland, 1999 ).
Kluster di sini didefinisikan sebagai konsentrasi aktivitas yang memilki sub sektor yang sama. Kluster adalah suatu fenomena di Asia menyebut kluster sebagai industri tradisional yang khas yang menonjol di Pulau Jawa. Menurut data Departemen Perindustrian, sekitar 10,000 sampai 70,000 desa di Indonesia dicatatkan sebagai kluster industri. Lebih dari 40% kluster berlokasi di Jawa Tengah di mana industri tradisional terkluster di separuh dari keseluruhan desa yang ada.
Kluster biasanya terjadi secara spontan, tetapi sekarang ini juga didukung oleh institusi swasta dan/atau institusi publik. Ada beberapa faktor umum yang menentukan pembentukan kluster yaitu kedekatan dengan input atau pasar, ketersediaan infrastruktur fisik terutama jalan atau mungkin ada efek spillover atau demonstration effect, dimana suatu perusahaan yang sukses mempengaruhi peserta baru dalam industri itu. Kadang-kadang kebijakan pemerintah mungkin mempunyai suatu pengaruh langsung pada keberadaan mereka.
Dari hasil studi yang dilakukan oleh Weijland (1999) tentang kluster industri tradisional di pedesaan Indonesia, terlihat bahwa ada beberapa keuntungan potensial pengklusteran. Jika diukur dari kapasitas perusahaan individunya, industri tradisional pedesaan hanya mempunyai sedikit kekuatan, tetapi melalui pengembangan jaringan perdagangan dan kluster banyak dari permasalahan teknologi dan pemasarannya dapat dipecahkan. Penyatuan produksi (joint production) akan mengurangi biaya-biaya transaksi pembelian input dan biaya memasarkan output, dan oleh karena itu akan menarik minat pedagang. Kegiatan ini membantu memecahkan permasalahan keuangan yang mendesak pengusaha miskin. Pengklusteran juga mempermudah aliran informasi dan memudahkan order-sharing, labor-sharing dan sub-contracting. Untuk kluster yang lebih maju, aspek teknologi meningkat semakin penting dimana peralatan yang lebih mahal dan keterampilan khusus bisa dipakai bersama.
Ada banyak dokumentasi tentang kluster industri di Indonesia, seperti batik, tekstil, ukiran, rokok kretek, mebel, batu bata dan ubin, barang logam, barang-barang mesin, dan suplier otomotif. Apakah keberadaan kluster seperti itu berguna bagi efisiensi pengembangan UMKM adalah perihal yang lain. Hasil penelitian oleh Sandee (1995) yang dikutip oleh Weijland (1999) menemukan suatu mata rantai antara kluster dan berbagai efisiensi eksternal, seperti peningkatan kapasitas untuk berinovasi serta akses kepada input yang murah. Pemerintah juga akan lebih mudah untuk memberikan pelayanan kepada suatu kelompok perusahaan target yang terhimpun dalam suatu kluster.
Bukti dari negara berkembang menunjukkan bahwa secara mayoritas kluster perusahaan kecil bekerja sama hanya untuk suatu hal yang sangat terbatas. Ini terlihat dari hasil studi Sato (2000) tentang suatu kluster perusahaan pengecoran logam di Ceper Klaten. Dia, menemukan hubungan intra-kluster (kerja sama antar perusahaan) memiliki arti penting yang terbatas. Kebanyakan perusahaan tidak mengkhususkan pembelian input, produksi, koleksi informasi, dan penjualan output dilaksanakan secara individu. Bagaimanapun, kluster memilkik arti penting untuk pertumbuhan perusahaan kecil, sebab produktivitas di dalam kluster nampak lebih tinggi dibanding jika perusahaan menyebar. Salah satu pertimbangan yang utama adalah bahwa kluster merangsang keterlibatan aktif pedagang dan perusahaan besar di dalam aglomerasi perusahaan kecil. Pembelian sejumlah besar dari beberapa produsen kecil melalui suatu kunjungan tunggal mengurangi biaya-biaya transaksi. Lagipula, keterlibatan pedagang dan perusahaan besar mengurangi kebutuhan akan perusahaan kecil untuk mengembangkan kapasitas pemasaran mereka sendiri, yang sering merupakan suatu hambatan penting di dalam penetrasi ke dalam kota dan pasar internasional (Sandee, 1995 dalam Weijland, 1999 ).
•Ekspor
Seiring perputaran ekonomi adalah menjadi penting bagi kelompok perusahaan manapun untuk mampu memperoleh penjualan ekspor atau untuk bersaing secara efektif dengan impor yang tidak lagi harus melompati penganut proteksionisme. Ini secara luas dapat diterima bagi UMKM bahwa untuk berhasil dalam ekspor mereka harus mempunyai beberapa cara menekan biaya-biaya transaksi, yang mana cenderung untuk mempunyai suatu komponen biaya tetap. Sub kontrak adalah tahap pertama, apakah dengan pabrikan skala besar atau dengan para perantara komersil. Seperti diungkapkan oleh Berry dan Levy (1999) bahwa sub kontrak umumnya terjadi antar eksportir ukuran menengah dalam industri rotan, garmen dan mebel. Tahap kedua adalah dengan penuaian keuntungan dalam kluster. Semua studi menunjukkan kluster kecil yang berorientasi ekspor beroperasi pada pengendalian pembeli komoditas menuntut kemampuan beradaptasi dan upgrading yang berkelanjutan, yang pada gilirannya memerlukan suatu interaksi profesional pada spesifikasi produk antara para pembeli dan produsen (Knorringa 1998 dalam Berry at. al. 2001).
Seiring perputaran ekonomi adalah menjadi penting bagi kelompok perusahaan manapun untuk mampu memperoleh penjualan ekspor atau untuk bersaing secara efektif dengan impor yang tidak lagi harus melompati penganut proteksionisme. Ini secara luas dapat diterima bagi UMKM bahwa untuk berhasil dalam ekspor mereka harus mempunyai beberapa cara menekan biaya-biaya transaksi, yang mana cenderung untuk mempunyai suatu komponen biaya tetap. Sub kontrak adalah tahap pertama, apakah dengan pabrikan skala besar atau dengan para perantara komersil. Seperti diungkapkan oleh Berry dan Levy (1999) bahwa sub kontrak umumnya terjadi antar eksportir ukuran menengah dalam industri rotan, garmen dan mebel. Tahap kedua adalah dengan penuaian keuntungan dalam kluster. Semua studi menunjukkan kluster kecil yang berorientasi ekspor beroperasi pada pengendalian pembeli komoditas menuntut kemampuan beradaptasi dan upgrading yang berkelanjutan, yang pada gilirannya memerlukan suatu interaksi profesional pada spesifikasi produk antara para pembeli dan produsen (Knorringa 1998 dalam Berry at. al. 2001).
•TINJAUAN KEBIJAKAN PEMERINTAH
menyarankan suatu model pengembangan UMKM yang inovatif dan sukses dapat tercapai dengan terpenuhinya beberapa persyaratan berikut:
1. Beberapa kompetensi industri dasar berada dalam bidang aktivitas tertentu (seperti di kasus garmen atau produksi mebel)
2. Tercipta suatu lingkungan makro ekonomi yang kondusif, termasuk hal yang utama adalah nilai tukar yang kompetitif.
3. Tersedianya infrastruktur fisik yang baik dan layak, serta kedekatannya dengan fasilitas untuk ekspor dan impor yang berfungsi dengan baik dan nyaman.
4. Adanya bantuan teknis, disain, dan keahlian pemasaran yang menghubungkan produsen kecil ke gagasan baru dan pasar utama.
Kecuali unsur pertama, keempat unsur-unsur tersebut secara langsung berkaitan dengan kebijakan publik. Mereka juga bisa berbeda menurut pengaturan kelembagaan, sebagai contoh, kemunculan sub kontrak yang ditemukan dalam industri barang-barang mesin dan otomotif. Model yang umum dikembangkan di sini juga bisa diterapkan di dalam pertanian dan industri skala besar, di mana hambatan terhadap saluran pengembangan transfer teknologi biasanya lebih rendah dari kasus UMKM.
Pemerintah memainkan suatu peran penting dalam menyediakan suatu lingkungan makro ekonomi yang mendukung dan dengan cepat meningkatkan infrastruktur. Seperti di Bali, pemerintah lokal mengadopsi suatu kebijakan yang terbuka terhadap kehadiran usahawan asing, dan prosedur ekspor tidaklah terlalu membebani usahawan.
Hampir semua jenis intervensi untuk pertumbuhan industri kecil telah dicoba di Indonesia, antara lain kredit bersubsidi, program pelatihan (dalam keahlian teknis dan kewiraswastaan), penyuluhan, input bersubsidi, bantuan pemasaran, pengadaan infrastruktur, fasilitas umum, industri perkebunan, dan seterusnya. Ada banyak program bantuan keuangan dan teknis menyebar di berbagai kementerian dan sistem perbankan. Pembinaan (bimbingan) terhadap golongan ekonomi lemah adalah konsep dasar di masa lampau, masa kini dan mungkin masa depan dalam pendekatan kebijakan pemerintah. Akan menjadi sukar untuk menyempurnakan suatu perubahan dalam pendekatan kebijakan, terutama jika ada informasi yang sedikit tentang efektivitas dari program yang ada. Efektivitas dan sukses mereka secara khas terukur oleh apakah target tahunan telah tercapai lebih dari yang ditetapkan.
Namun demikian, bukti dari lapangan menunjukkan bahwa klaim tersebut tidak valid. Pertama, mayoritas perusahaan kecil tidak pernah menerima bantuan keuangan maupun teknis. Tingkat keikutsertaan perusahaan kecil dalam program bantuan sangat rendah. Seperti penemuan Sandee et. al. (1994) yang dikutip oleh Berry et. al. (2001) dimana untuk Jawa Tengah pada 1992 tingkat keikutsertaan perusahaan kecil di bawah 10%, sedangkan Musa dan Priatna (1998) yang juga dikutip oleh Berry et. a.l (2001) menyebutkan bahwa hanya 17% perusahaan kecil dalam provinsi terpilih yang benar-benar menggunakan berbagai jenis pinjaman bank.
Kedua, masih menurut Berry et. al. (2001) berdasarkan suatu tinjauan ulang oleh Sandee et. al. (1994) tentang bantuan keuangan dan teknis kepada enam kluster industri kecil mengungkapkan sedikit bukti dukungan pemerintah terhadap generasi tenaga kerja dan pertumbuhan perusahaan. Perusahaan yang menerima dan tidak menerima bantuan menunjukkan pola pertumbuhan yang serupa, menunjukkan adanya faktor lain yang menjelaskan pertumbuhan perusahaan. Tinjauan ulang juga menunjukkan bahwa kemungkinan bantuan yang diterima secara positif dan signifikan berhubungan dengan ukuran perusahaan, dan keberadaan produsen wanita.
Berbagai studi tentang kredit untuk industri kecil di Indonesia menekankan bahwa usahawan tidak mengeluh tentang tingkat bunga yang tinggi untuk kredit formal, tetapi akses mereka kepada kredit formal adalah suatu hambatan utama.
Sejak serangan krisis, berbagai program kredit baru dengan subsidi tingkat bunga telah diluncurkan, di dalam rangka pengurangan kemiskinan dan program jaring pengaman sosial. Untuk menerapkan kebijakan barunya untuk UMKM, pemerintah telah menyetujui perubahan kebijakan industri sehingga pertumbuhan UMKM lebih lanjut dan meningkatkan daya saing industri Indonesia. Perubahan yang dilakukan antara lain, pemerintah telah mengefektifkan bentuk kredit yang disubsidi untuk UMKM dan menyiapkan suatu kebijakan investasi kompetitif.
Beberapa peraturan yang ada memaksa UMKM untuk berhadapan secara eksklusif dengan perusahaan besar, ketika yang lainnya menciptakan barier to entry. Sebagai contoh, beberapa pelabuhan hanya diizinkan untuk menangani jenis muatan tertentu, meningkatkan biaya-biaya pengangkutan dan mengurangi daya saing eksportir, termasuk UMKM yang berorientasi ekspor. Akhirnya, beberapa peraturan diciptakan untuk menekan impor dan anti dumping, menciptakan praktek monopoli dalam sejumlah pasar yang menjadi input kunci industri seperti timah, minyak, kayu dan makanan pokok.
Seiring dengan pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis, para agen bantuan sudah menyesuaikan operasi mereka dari tanggapan jangka pendek ke pertumbuhan menengah. Arus diskusi lembaga donor dan sponsor atas pertumbuhan UMKM berkonsentrasi pada tiga isu. Pertama, ada penekanan pada penciptaan suatu lingkungan bisnis kompetitif yang akan lebih berguna bagi pertumbuhan perusahaan kecil. Implementasi anti monopoli dan hukum kebangkrutan dipertimbangkan sebagai arti penting dalam mengukur pertumbuhan perusahaan kecil dan besar, memastikan bahwa otoritas lokal menggunakan peraturan yang sederhana dan jelas yang mengurangi biaya-biaya transaksi dalam pengembangan usaha kecil. Kedua, pelurusan rencana kredit lebih lanjut telah dibahas, dengan tujuan terus meningkatkan akses ke pendukungan keuangan untuk investasi. Ketiga, jasa pertumbuhan bisnis adalah di bawah tinjauan ulang, dengan tujuan meningkatkan kinerja program bantuan teknis.
Program dan kegiatan pemberdayaan UMKM pada tahun 2004 dan 2005, antara lain ditunjukkan oleh tersusunnya berbagai rancangan peraturan perundangan, antara lain rancangan undang-undang (RUU) tentang penjaminan kredit UMKM dan RUU tentang subkontrak, RUU tentang perkreditan perbankan bagi UMKM, RPP tentang koperasi simpan pinjam (KSP); tersusunnya konsep pembentukan biro informasi kredit Indonesia; berkembangnya pelaksanaan unit pelayanan satu atap di berbagai kabupaten/kota; terbentuknya forum lintas pelaku pemberdayaan UKM di daerah; terselenggaranya bantuan sertifikasi hak atas tanah kepada lebih dari 40 ribu pengusaha mikro dan kecil di 24 propinsi; berkembangnya jaringan layanan pengembangan usaha oleh business development service (BDS) providers di daerah disertai terbentuknya asosiasi BDS providers Indonesia; meningkatnya kemampuan permodalan sekitar 1.500 unit KSP/USP di 416 kabupaten/kota termasuk KSP di sektor agribisnis; terbentuknya pusat promosi produk koperasi dan UMKM; serta dikembangkannya sistem insentif pengembangan UMKM berorientasi ekspor dan berbasis teknologi di bidang agroindustri. Hasil-hasil tersebut telah mendorong peningkatan peran koperasi dan UMKM terhadap perluasan penyediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan peningkatan pendapatan.
Kebijakan pemberdayaan UMKM pada tahun 2006 secara umum diarahkan untuk mendukung upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan, penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan ekspor, serta revitalisasi pertanian dan perdesaan, yang menjadi prioritas pembangunan nasional dalam tahun 2006. Dalam kerangka itu, pengembangan UKM diarahkan agar memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penciptaan kesempatan kerja, peningkatan ekspor dan peningkatan daya saing, sementara itu pengembangan usaha skala mikro diarahkan untuk memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah, khususnya di sektor pertanian dan perdesaan.
Seperti kesimpulan Hill (2001), tantangannya adalah untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah yang telah ditempuh tersebut mendukung pertumbuhan sektor industri dasar sehubungan dengan manfaat kompetisi Indonesia, dengan menciptakan program kebijakan UMKM dengan tujuan mencapai keadilan.
menyarankan suatu model pengembangan UMKM yang inovatif dan sukses dapat tercapai dengan terpenuhinya beberapa persyaratan berikut:
1. Beberapa kompetensi industri dasar berada dalam bidang aktivitas tertentu (seperti di kasus garmen atau produksi mebel)
2. Tercipta suatu lingkungan makro ekonomi yang kondusif, termasuk hal yang utama adalah nilai tukar yang kompetitif.
3. Tersedianya infrastruktur fisik yang baik dan layak, serta kedekatannya dengan fasilitas untuk ekspor dan impor yang berfungsi dengan baik dan nyaman.
4. Adanya bantuan teknis, disain, dan keahlian pemasaran yang menghubungkan produsen kecil ke gagasan baru dan pasar utama.
Kecuali unsur pertama, keempat unsur-unsur tersebut secara langsung berkaitan dengan kebijakan publik. Mereka juga bisa berbeda menurut pengaturan kelembagaan, sebagai contoh, kemunculan sub kontrak yang ditemukan dalam industri barang-barang mesin dan otomotif. Model yang umum dikembangkan di sini juga bisa diterapkan di dalam pertanian dan industri skala besar, di mana hambatan terhadap saluran pengembangan transfer teknologi biasanya lebih rendah dari kasus UMKM.
Pemerintah memainkan suatu peran penting dalam menyediakan suatu lingkungan makro ekonomi yang mendukung dan dengan cepat meningkatkan infrastruktur. Seperti di Bali, pemerintah lokal mengadopsi suatu kebijakan yang terbuka terhadap kehadiran usahawan asing, dan prosedur ekspor tidaklah terlalu membebani usahawan.
Hampir semua jenis intervensi untuk pertumbuhan industri kecil telah dicoba di Indonesia, antara lain kredit bersubsidi, program pelatihan (dalam keahlian teknis dan kewiraswastaan), penyuluhan, input bersubsidi, bantuan pemasaran, pengadaan infrastruktur, fasilitas umum, industri perkebunan, dan seterusnya. Ada banyak program bantuan keuangan dan teknis menyebar di berbagai kementerian dan sistem perbankan. Pembinaan (bimbingan) terhadap golongan ekonomi lemah adalah konsep dasar di masa lampau, masa kini dan mungkin masa depan dalam pendekatan kebijakan pemerintah. Akan menjadi sukar untuk menyempurnakan suatu perubahan dalam pendekatan kebijakan, terutama jika ada informasi yang sedikit tentang efektivitas dari program yang ada. Efektivitas dan sukses mereka secara khas terukur oleh apakah target tahunan telah tercapai lebih dari yang ditetapkan.
Namun demikian, bukti dari lapangan menunjukkan bahwa klaim tersebut tidak valid. Pertama, mayoritas perusahaan kecil tidak pernah menerima bantuan keuangan maupun teknis. Tingkat keikutsertaan perusahaan kecil dalam program bantuan sangat rendah. Seperti penemuan Sandee et. al. (1994) yang dikutip oleh Berry et. al. (2001) dimana untuk Jawa Tengah pada 1992 tingkat keikutsertaan perusahaan kecil di bawah 10%, sedangkan Musa dan Priatna (1998) yang juga dikutip oleh Berry et. a.l (2001) menyebutkan bahwa hanya 17% perusahaan kecil dalam provinsi terpilih yang benar-benar menggunakan berbagai jenis pinjaman bank.
Kedua, masih menurut Berry et. al. (2001) berdasarkan suatu tinjauan ulang oleh Sandee et. al. (1994) tentang bantuan keuangan dan teknis kepada enam kluster industri kecil mengungkapkan sedikit bukti dukungan pemerintah terhadap generasi tenaga kerja dan pertumbuhan perusahaan. Perusahaan yang menerima dan tidak menerima bantuan menunjukkan pola pertumbuhan yang serupa, menunjukkan adanya faktor lain yang menjelaskan pertumbuhan perusahaan. Tinjauan ulang juga menunjukkan bahwa kemungkinan bantuan yang diterima secara positif dan signifikan berhubungan dengan ukuran perusahaan, dan keberadaan produsen wanita.
Berbagai studi tentang kredit untuk industri kecil di Indonesia menekankan bahwa usahawan tidak mengeluh tentang tingkat bunga yang tinggi untuk kredit formal, tetapi akses mereka kepada kredit formal adalah suatu hambatan utama.
Sejak serangan krisis, berbagai program kredit baru dengan subsidi tingkat bunga telah diluncurkan, di dalam rangka pengurangan kemiskinan dan program jaring pengaman sosial. Untuk menerapkan kebijakan barunya untuk UMKM, pemerintah telah menyetujui perubahan kebijakan industri sehingga pertumbuhan UMKM lebih lanjut dan meningkatkan daya saing industri Indonesia. Perubahan yang dilakukan antara lain, pemerintah telah mengefektifkan bentuk kredit yang disubsidi untuk UMKM dan menyiapkan suatu kebijakan investasi kompetitif.
Beberapa peraturan yang ada memaksa UMKM untuk berhadapan secara eksklusif dengan perusahaan besar, ketika yang lainnya menciptakan barier to entry. Sebagai contoh, beberapa pelabuhan hanya diizinkan untuk menangani jenis muatan tertentu, meningkatkan biaya-biaya pengangkutan dan mengurangi daya saing eksportir, termasuk UMKM yang berorientasi ekspor. Akhirnya, beberapa peraturan diciptakan untuk menekan impor dan anti dumping, menciptakan praktek monopoli dalam sejumlah pasar yang menjadi input kunci industri seperti timah, minyak, kayu dan makanan pokok.
Seiring dengan pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis, para agen bantuan sudah menyesuaikan operasi mereka dari tanggapan jangka pendek ke pertumbuhan menengah. Arus diskusi lembaga donor dan sponsor atas pertumbuhan UMKM berkonsentrasi pada tiga isu. Pertama, ada penekanan pada penciptaan suatu lingkungan bisnis kompetitif yang akan lebih berguna bagi pertumbuhan perusahaan kecil. Implementasi anti monopoli dan hukum kebangkrutan dipertimbangkan sebagai arti penting dalam mengukur pertumbuhan perusahaan kecil dan besar, memastikan bahwa otoritas lokal menggunakan peraturan yang sederhana dan jelas yang mengurangi biaya-biaya transaksi dalam pengembangan usaha kecil. Kedua, pelurusan rencana kredit lebih lanjut telah dibahas, dengan tujuan terus meningkatkan akses ke pendukungan keuangan untuk investasi. Ketiga, jasa pertumbuhan bisnis adalah di bawah tinjauan ulang, dengan tujuan meningkatkan kinerja program bantuan teknis.
Program dan kegiatan pemberdayaan UMKM pada tahun 2004 dan 2005, antara lain ditunjukkan oleh tersusunnya berbagai rancangan peraturan perundangan, antara lain rancangan undang-undang (RUU) tentang penjaminan kredit UMKM dan RUU tentang subkontrak, RUU tentang perkreditan perbankan bagi UMKM, RPP tentang koperasi simpan pinjam (KSP); tersusunnya konsep pembentukan biro informasi kredit Indonesia; berkembangnya pelaksanaan unit pelayanan satu atap di berbagai kabupaten/kota; terbentuknya forum lintas pelaku pemberdayaan UKM di daerah; terselenggaranya bantuan sertifikasi hak atas tanah kepada lebih dari 40 ribu pengusaha mikro dan kecil di 24 propinsi; berkembangnya jaringan layanan pengembangan usaha oleh business development service (BDS) providers di daerah disertai terbentuknya asosiasi BDS providers Indonesia; meningkatnya kemampuan permodalan sekitar 1.500 unit KSP/USP di 416 kabupaten/kota termasuk KSP di sektor agribisnis; terbentuknya pusat promosi produk koperasi dan UMKM; serta dikembangkannya sistem insentif pengembangan UMKM berorientasi ekspor dan berbasis teknologi di bidang agroindustri. Hasil-hasil tersebut telah mendorong peningkatan peran koperasi dan UMKM terhadap perluasan penyediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan peningkatan pendapatan.
Kebijakan pemberdayaan UMKM pada tahun 2006 secara umum diarahkan untuk mendukung upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan, penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan ekspor, serta revitalisasi pertanian dan perdesaan, yang menjadi prioritas pembangunan nasional dalam tahun 2006. Dalam kerangka itu, pengembangan UKM diarahkan agar memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penciptaan kesempatan kerja, peningkatan ekspor dan peningkatan daya saing, sementara itu pengembangan usaha skala mikro diarahkan untuk memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah, khususnya di sektor pertanian dan perdesaan.
Seperti kesimpulan Hill (2001), tantangannya adalah untuk memastikan bahwa kebijakan pemerintah yang telah ditempuh tersebut mendukung pertumbuhan sektor industri dasar sehubungan dengan manfaat kompetisi Indonesia, dengan menciptakan program kebijakan UMKM dengan tujuan mencapai keadilan.