Kamis, 29 Maret 2012

KEBIJAKAN FISKAL DEPARTEMENT KEUANGAN



PENDAHULUAN
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
TEORI
Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.

2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.

3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.

Sekiranya Saudara setuju dengan butir-butir maklumat tersebut, silakan meneruskannya ke halaman berikutnya. Atau apabila Saudara langsung meneruskan k halaman berikutnya, maka Saudara dianggap setuju dengan maklumat berikut ini.
 

1.      Informasi dalam website ini dikeluarkan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) – Departemen Keuangan Republik Indonesia semata-mata untuk kepentingan informasi publik. Website ini tidak berisi dan tidak dimaksudkan untuk pertimbangan di dalam mengambil keputusan di bidang ekonomi.
2.      BKF mengupayakan secermat mungkin kualitas akurasi kebenaran, kelengkapan data serta informasi dalam website ini. Namun demikian, BKF tidak menjamin atau tidak menyarankan dan tidak bertanggungjawab atas semua akibat dari penggunaan data dan informasi dalam website ini. Informasi selanjutnya dalam website ini dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Tidak satupun informasi dalam website ini dapat dianggap sebagai janji ataupun mewakili Departemen Keuangan Republik Indonesia ataupun BKF untuk masa yang lalu maupun yang akan datang. Isi dari website ini sebaiknya tidak dianggap sebagai nasehat hukum, bisnis maupun perpajakan.
3.      Website ini merupakan bagian dari website Departemen Keuangan RI yang dilindungi hukum. Segala tindakan yang dengan sengaja mengakibatkan rusaknya fasilitas elektronik BKF atau rusaknya data, program, informasi yang terkandung di dalamnya merupakan perbuatan melanggar hukum.
4.      Sistem BKF yang terkoneksi dengan website yang lain dan peralatan lainnya selalu dipantau. Keterangan yang berkaitan dengan pengguna informasi untuk keperluan penggunaan resmi dapat berhubungan dengan pejabat yang berwenang termasuk otoritas / pejabat penegak hukum.
5.      Referensi yang berkaitan dengan produk komersial spesifik, proses, atau jasa yang menyebut nama / merk dagang, pabrik, atau yang lainnya bukan merupakan pengesahan , rekomendasi terhadap suatu produk / lembaga tertentu.
6.      Untuk tujuan kenyamanan maupun penyampaian informasi, server BKF dihubungkan dengan website lainnya, website tersebut mungkin berisi informasi yang dilindungioleh hak cipta pihak ketiga dan ada beberapa pembatasan atas penggunaannya. Izin untuk penggunaan bahan-bahan informasi yang dilindungi hak cipta harus berhubungan dengan pemilik hak cipta yang bersangkutan dan tidak dapat diperoleh dari BKF.
7.      BKF tidak bertanggungjawab atas segala isi website lainnya yang terkoneksi dengan website BKF. BKF tidak memberikan pengesahan informasi, isi, penyajian, keakuratan, atau tidak memberikan jaminan terhadap website tersebut.
8.      Setiap halaman dari website ini harus selalu dibaca dalam kaitan dengan maklumat ini.

Penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN yang dilakukan sejak awal orde baru, yaitu Repelita I tahun anggaran 1969/1970. Serta penyusunan laporan dan pertanggungjawaban keuangan pemerintah ini dilakukan oleh Staf Pribadi Menteri Keuangan, dan selanjutnya sejak tahun 1975 dilakukan oleh Biro Perencanaan dan Penelitian, Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan. Selanjutnya untuk mendukung perkembangan pembangunan yang semakin pesat, pada tahun 1985 dibentuk suatu unit organisasi setingkat eselon II yang khusus menangani penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, yaitu Pusat Penyusunan dan Analisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PPA-APBN), yang bertanggungjawab langsung kepada Menteri Keuangan.

Sesuai dengan perkembangan zaman, maka dirasakan Penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN sangat erat kaitannya tidak saja dengan perkembangan keuangan negara, tetapi juga dengan perkreditan dan neraca pembayaran, sehingga pada tahun 1987 dibentuklah unit setingkat eselon I, yaitu Badan Analisa Keuangan Negara, Perkreditan dan Neraca Pembayaran (BAKNP&NP) yang merupakan penggabungan tugas pokok dan fungsi PPA-APBN dengan sebagian tugas fungsi Direktorat Jenderal Moneter Luar Negeri dan Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri, yang dituangkan dalam Keppres Nomor 36 Tahun 1987, tentang Susunan dan Organisasi Departemen, dan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 85/KMK.01/1988 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Analisa Keuangan Negara, Perkreditan dan Neraca Pembayaran.

Setelah berjalan lebih kurang empat tahun, susunan dan uraian tugas BAKNP&NP lebih dikembangkan dengan memasukkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Keuangan dan Moneter. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 32/KMK.01/1993, tanggal 6 Januari 1993, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Analisa Keuangan dan Moneter, selanjutnya nama BAKNP&NP diubah menjadi Badan Analisa Keuangan dan Moneter (BAKM). BAKM mempunyai empat biro, yaitu Biro Analisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Biro Analisa Moneter, Biro Analisa Keuangan Daerah, dan Biro Pengkajian Ekonomi dan Keuangan, serta Sekretariat Badan.

Seiring dengan berjalannya waktu, Badan Analisa Keuangan dan Moneter (BAKM) dengan Keputusan Presiden Nomor 177 tahun 2000, tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan tanggal 3 Januari 2001, BAKM disempurnakan dan namanya diganti menjadi Badan Analisa Fiskal (BAF), dengan memisahkan Biro Analisa Keuangan Daerah dan mengembangkan Pusat Analisa APBN, menjadi dua Pusat, yaitu Pusat Analisa Pendapatan Negara dan Pembiayaan Anggaran dan Pusat Analisa Belanja Negara.

Untuk menyesuaikan dengan kondisi yang cepat berubah, serta dalam rangka meningkatkan kinerja dan efisiensi di Departemen Keuangan, maka pada tanggal 23 Juni 2004 dilaksanakannya reorganisasi. Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional (BAPEKKI) adalah unit eselon I di Departemen Keuangan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 2004 dan merupakan penggabungan dari beberapa unit eselon II yang berasal dari Badan Analisa Fiskal (BAF) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Pendapatan Daerah (Dirjen PKPD) serta Biro Kerjasama Luar Negeri dari Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan. Adapun Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan yaitu Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan (Puspeku), Pusat Pengkajian Perkajian Perpajakan, Kepabeanan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Puspakep), Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Daerah (Puspekda), Pusat Evaluasi Pajak dan Retribusi Daerah (Puseparda), Pusat Kerjasama Internasional (Puskerin), serta Sekretariat Badan.

Dengan adanya reorganisasi di Departemen Keuangan, pada tahun 2006 sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 nama Bapekki berubah menjadi Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan yaitu Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Pusat Kebijakan Belanja Negara, Pusat Kebijakan Ekonomi dan Keuangan, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Pusat Kerjasama Internasional serta Sekretariat Badan.

Kemudian seiring dengan berlakunya reformasi birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan dan penyesuaian tugas pokok dan fungsi BKF sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Keuangan maka struktur organisasi di lingkungan Badan Kebijakan Fiskal menjadi Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Pusat Kebijakan Kerja Sama Internasional, dan Sekretariat Badan Kebijakan Fiskal.

PEMBAHASAN
Jakarta (26/02) Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari 20 negara utama dunia (G20 Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting, atau G20 FMCBG Meeting) diselenggarakan  pada tanggal 25-26 Februari 2011 di Mexico City, Mexico. Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama dari serangkaian pertemuan sejenis yang direncanakan di tahun 2012 di bawah presidensi Pemerintah Mexico. Agenda pertemuan dirancang untuk menindaklanjuti arahan kepala negara  G20 yang bertemu di Cannes, Perancis (G20 Cannes Summit) pada 3-4  Nopember 2011 yang meminta G20 FMCBG melakukan berbagai kebijakan terkoordinasi untukk terealisasinya pertumbuhan ekonomi yang kuat, berimbang, dan berdaya tahan (Strong, Balance, and Sustained Growth) di kalangan negara anggota G20.
Penyelenggaraan FMCCBG  dipandang urgen dan tepat waktu mengingat situasi perekonomian dunia yang berada dalam ancaman krisis sebagai dampak tularan (contagion effect) dari krisis yang saat ini terjadi di Eropa. Walaupun telah terjadi perbaikan ekonomi yang lebih baik di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat yang mampu mencatat pertumbuhan ekonomi positif dan mengurangi pengangguran, ekonomi di negara-negara Eropa masih belum mampu keluar dari krisis. International Monetary Fund (IMF)  memprediksi pertumbuhan ekonomi global di tahun 2012 berada dalam kisaran 3,3% dengan  Eropa mencatat pertumbuhan ekonomi negatif. Pertumbuhan ekonomi di negara berkembang Asia diperkirakan sekitar 7,3%, dan mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya yang didorong oleh penurunan pertumbuhan negara-negara  utama di Asia seperti China dan India.
Berbagai penyebab dari belum berhasil keluarnya Eropa dari krisis diantaranya adalah lambatnya pengambil keputusan di Eropa dalam menangani penyelesaian krisis di beberapa negara Eropa pinggiran (pheripery) seperti Yunani, belum optimalnya konsolidasi fiskal dan reformasi struktural banyak negara Eropah yang menekankan pada penurunan defisit dan hutang, dan belum memadainya dana penanganan krisis (European firewall) yang disediakan oleh Eropa untuk memberikan keamanan bagi para investor dan institusi keuangan untuk melakukan aktifitas ekonomi dan bisnis di kawasan Eropa. Untuk memperkuat kemampuan Eropa dalam menangani krisis dan menurunkan risiko keuangan kawasan, dari berbagai skenario kajian disimpulkan perlunya tambahan dana minimal sekitar US$ 1 trillion yang diharapkan separuhnya berasal dari kawasan Eropa dan sisanya dari IMF.
Terhadap permintaan Eropa agar IMF memberikan dukungan pendanaan US$ 500 billion, Indonesia dan sebagian besar negara-negara G20 berpendapat bahwa bantuan IMF belum dinilai mendesak untuk diberikan mengingat Eropa masih memiliki kemampuan untuk menyediakan dana penyelesaian krisis kawasan termasuk perlunya Eropa melakukan reformasi struktural yang agresif. Namun, Indonesia dan negara-negara G20 sepakat sumber keuangan IMF perlu ditingkatkan sebagai bagian dari dana penyelematan keuangan global (global financial safety net) untuk antisipasi dan penanganan krisis yang dialami para anggota IMF. FMCBG mendiskusikan berbagai opsi penambahan sumber keuangan IMF diantaranya implementasi kesepakatan quota reform tahun 2010 yang diharapkan terealisasi pada tahun 2012 dan pinjaman bilateral negara anggota IMF.
FMCBG menyepakati peningkatan monitoring dan transparansi dari komitmen yang diberikan diantaranya di bidang fiskal, moneter, dan kebijakan pembangunan sebagai tindak lanjut dari G20 Cannes Summit. Untuk meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang kuat, berimbang dan berdaya tahan, FMCBG sepakat menyusun Rencana Aksi Los Cabos (Los Cabos Action Plan).
Untuk mengatasi terjadinya berbagai risiko sistemik baru termasuk menurunkan risiko keuangan yang ada, FMCBG menyepakati berbagai agenda reformasi regulasi keuangan seperti Basel II dan III, peningkatan regulasi dan pengawasan atas aktifitas shadow banking serta reformasi operasional pasar derivatif OTC (over the counter) sesuai komitmen kesepakatan waktu masing-masing negara G20, dan meminta Financial Stability Board (FSB) untuk memonitor implementasinya. FMCBG juga menerima rekomendasi FSB dalam pengaturan perusahaan pemberi peringkat (rating agency).
Dalam mengatasi volatilitas harga komoditas dan energi, FMCBG meminta berbagai lembaga multilateral terkait untuk menyampaikan rekomendasi dampak volatilitas harga terhadap pertumbuhan ekonomi dan menyediakan berbagai opsi yang dapat diambil oleh negara anggota untuk mengatasi volatilitas harga komoditas. Indonesia yang menjadi ketua bersama kelompok kerja komoditas dan energi mendorong negara-negara G20 untuk melakukan koordinasi kebijakan makro ekonomi dan pengawasan untuk tercapainya stabilitas harga komoditas dan pembatasan perdagangan spekulatif.
FMCBG juga menyepakati berbagai agenda kerjasama lainnya seperti agenda financial inclusion yang diantara dukungan G20 bagi program edukasi keuangan dan proteksi konsumen, dan peningkatan kerjasama untuk transparansi dan pertukaran informasi antar negara anggota diantaranya atas money laundering dan pembiayaan terorisme. FMCBG juga mendiskusikan agenda green growth dan pembangunan berkelanjutan terhadap reformasi struktural, dan peranan managemen risiko bencana (disaster risk management) dalam antisipasi bencana dan mitigasi kerugian. FMCBG meminta lembaga multilateral terkait untuk melakukan kajian lebih lanjut, dan menyampaikan opsi rekomendasi implementasinya.
FMCBG sepakat untuk melakukan pertemuan kedua di Washington, Amerika Serikat pada Bulan April mendatang.

Jakarta (02/03) Badan Kebijakan Fiskal kembali menerima kunjungan mahasiswa, kali ini dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Program Studi Diploma IV Keuangan Spesialisasi Akuntansi. Enam puluh mahasiswa yang hadir didampingi beberapa dosen pembimbing, datang untuk lebih mengenal dan memahami tugas pokok BKF sebagai bagian dari Kementerian Keuangan. Sekretaris BKF, Andin Hadiyanto, menyambut baik kedatangan para mahasiswa dan membuka acara dengan memberi gambaran bagaimana BKF berperan penting dalam pembuatan kebijakan fiskal mulai dari perumusan asumsi makro hingga kebijakan yang tertuang dalam APBN.
Sesi diskusi dimulai dengan pemaparan mengenai Perkembangan Ekonomi Terkini oleh Thomas Natalis Primordiartha Dile Keraf, S.E., M.A. Selain menyampaikan mengenai perekonomian global yang selalu dipantau BKF melalui Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Thomas juga menjelaskan kondisi perekonomian domestik. “Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,5% pada tahun 2011 didorong oleh konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor” terangnya. Ia juga menambahkan bahwa tahun 2012 investasi diperkirakan mampu tumbuh signifikan seiring masuknya Indonesia dalam investment grade pembangunan infrastruktur dan investasi pembelian barang modal pada industri otomotif.
Kebijakan Fiskal dan APBN 2012 menjadi tema pada sesi diskusi berikutnya yang disampaikan oleh Widiyanto, SE, MA. dari Pusat Kebijakan APBN. Widi menjelaskan bahwa sebagai instrumen utama kebijakan fiskal, APBN memiliki peranan strategis dalam mencapai tujuan dan sasaran pembangunan yang mencakup empat pilar, yaitu pro-poor, pro-job, pro-growth dan pro-environment. “Agar kebijakan fiskal mempunyai arah yang jelas dan berkesinambuingan, pemerintah melakukan optimalisasi pendapatan negara, meningkatkan efisiensi & efektifitas belanja negara, meningkatkan belanja infrastruktur, mengendalikan defisit dalam batas aman yaitu kurang dari 3% PDB, mengurangi utang secara bertahap dan mencari sumber pembiayaan yang rendah resiko” paparnya.
Diskusi setengah hari yang dipandu Evi Subardi, SE berlangsung dengan hangat dan antusias. Para mahasiswa mengajukan beragam pertanyaan kepada narasumber mulai dari kebijakan subsidi hingga kiat pemerintah untuk mengatasi dampak kenaikan BBM di masyarakat. Diskusi semakin menarik karena panitia menyediakan door prize dan bingkisan menarik untuk para peserta.(DW)


Jakarta (02/03): Kementerian Keuangan berkomitmen untuk turut serta dalam percepatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia. Hal ini diwujudkan dengan pemberian jaminan dalam rangka mendukung pemenuhan pembiayaan proyek-proyek pembangkit listrik tersebut. Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU) atas proyek PLTP Muaralaboh dan PLTP Rajabasa ditandatangani pagi ini di gedung Juanda, kompleks Kementerian Keuangan oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Jaminan tersebut diberikan kepada pihak pengembang apabila terjadi resiko gagal bayar oleh PT PLN (Persero). Selain itu, Kementerian Keuangan juga menyediakan Fasilitas Dana Geothermal melalui diterbitkannya PMK Nomor 03/PMK.011/2012 yang merupakan bentuk dukungan pemerintah Indonesia untuk kegiatan eksplorasi panas bumi.
Menteri Keuangan mengungkapkan bahwa kedua proyek PLTP ini merupakan bagian dari proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2010. Pada kedua proyek tersebut, pemerintah memberi mandat kepada PT PLN (Persero) yang telah menjalin kerja sama jual beli listrik dengan konsorsium PT Supreme Energy, International Power GDF Suez dan Sumitomo Corporation. Power Purchase Agreement (PPA) atas kerjasama tersebut ditandangani di tempat yang sama oleh Direktur Utama PLN, Nur Pamudji dan Direktur Utama PT Supreme Energy, Supramu Santoso, disaksikan oleh Menteri Keuangan, Agus Martowardojo,  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa dan Menteri ESDM, Jero Wacik.
Dalam Sambutannya, Hatta Rajasa mengungkapkan optimismenya terhadap masa depan energi panas bumi dengan dimulainya proyek berkapasitas 10.000MW tahap 2 ini. Dengan ditandatanganinya kerjasama dalam proyek tersebut, Hatta juga berharap program Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menguunakan Energi Terbarukan, Batubara dan Gas akan dapat berjalan sesuai rencana.
Proyek PLTP Muaralaboh berlokasi di Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi di Liki Pinangawan, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Sedangkan PLTP Rajabasa terletak di WKP panas bumi Gunung Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Masing-masing PLTP berkapasitas 2x110MW dan bernilai 661 juta USD untuk Muaralaboh dan 683 juta USD untuk Rajabasa. (DW)

1 komentar:

  1. Good Analysis.. may I have discussion with you directly? I am doing thesis now regarding with Macro Economy and need professional comment like you. Thank you.

    BalasHapus