Kamis, 29 Maret 2012

KEBIJAKAN FISKAL DEPARTEMENT KEUANGAN



PENDAHULUAN
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
TEORI
Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.

2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.

3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.

Sekiranya Saudara setuju dengan butir-butir maklumat tersebut, silakan meneruskannya ke halaman berikutnya. Atau apabila Saudara langsung meneruskan k halaman berikutnya, maka Saudara dianggap setuju dengan maklumat berikut ini.
 

1.      Informasi dalam website ini dikeluarkan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) – Departemen Keuangan Republik Indonesia semata-mata untuk kepentingan informasi publik. Website ini tidak berisi dan tidak dimaksudkan untuk pertimbangan di dalam mengambil keputusan di bidang ekonomi.
2.      BKF mengupayakan secermat mungkin kualitas akurasi kebenaran, kelengkapan data serta informasi dalam website ini. Namun demikian, BKF tidak menjamin atau tidak menyarankan dan tidak bertanggungjawab atas semua akibat dari penggunaan data dan informasi dalam website ini. Informasi selanjutnya dalam website ini dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Tidak satupun informasi dalam website ini dapat dianggap sebagai janji ataupun mewakili Departemen Keuangan Republik Indonesia ataupun BKF untuk masa yang lalu maupun yang akan datang. Isi dari website ini sebaiknya tidak dianggap sebagai nasehat hukum, bisnis maupun perpajakan.
3.      Website ini merupakan bagian dari website Departemen Keuangan RI yang dilindungi hukum. Segala tindakan yang dengan sengaja mengakibatkan rusaknya fasilitas elektronik BKF atau rusaknya data, program, informasi yang terkandung di dalamnya merupakan perbuatan melanggar hukum.
4.      Sistem BKF yang terkoneksi dengan website yang lain dan peralatan lainnya selalu dipantau. Keterangan yang berkaitan dengan pengguna informasi untuk keperluan penggunaan resmi dapat berhubungan dengan pejabat yang berwenang termasuk otoritas / pejabat penegak hukum.
5.      Referensi yang berkaitan dengan produk komersial spesifik, proses, atau jasa yang menyebut nama / merk dagang, pabrik, atau yang lainnya bukan merupakan pengesahan , rekomendasi terhadap suatu produk / lembaga tertentu.
6.      Untuk tujuan kenyamanan maupun penyampaian informasi, server BKF dihubungkan dengan website lainnya, website tersebut mungkin berisi informasi yang dilindungioleh hak cipta pihak ketiga dan ada beberapa pembatasan atas penggunaannya. Izin untuk penggunaan bahan-bahan informasi yang dilindungi hak cipta harus berhubungan dengan pemilik hak cipta yang bersangkutan dan tidak dapat diperoleh dari BKF.
7.      BKF tidak bertanggungjawab atas segala isi website lainnya yang terkoneksi dengan website BKF. BKF tidak memberikan pengesahan informasi, isi, penyajian, keakuratan, atau tidak memberikan jaminan terhadap website tersebut.
8.      Setiap halaman dari website ini harus selalu dibaca dalam kaitan dengan maklumat ini.

Penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN yang dilakukan sejak awal orde baru, yaitu Repelita I tahun anggaran 1969/1970. Serta penyusunan laporan dan pertanggungjawaban keuangan pemerintah ini dilakukan oleh Staf Pribadi Menteri Keuangan, dan selanjutnya sejak tahun 1975 dilakukan oleh Biro Perencanaan dan Penelitian, Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan. Selanjutnya untuk mendukung perkembangan pembangunan yang semakin pesat, pada tahun 1985 dibentuk suatu unit organisasi setingkat eselon II yang khusus menangani penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, yaitu Pusat Penyusunan dan Analisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PPA-APBN), yang bertanggungjawab langsung kepada Menteri Keuangan.

Sesuai dengan perkembangan zaman, maka dirasakan Penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN sangat erat kaitannya tidak saja dengan perkembangan keuangan negara, tetapi juga dengan perkreditan dan neraca pembayaran, sehingga pada tahun 1987 dibentuklah unit setingkat eselon I, yaitu Badan Analisa Keuangan Negara, Perkreditan dan Neraca Pembayaran (BAKNP&NP) yang merupakan penggabungan tugas pokok dan fungsi PPA-APBN dengan sebagian tugas fungsi Direktorat Jenderal Moneter Luar Negeri dan Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri, yang dituangkan dalam Keppres Nomor 36 Tahun 1987, tentang Susunan dan Organisasi Departemen, dan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 85/KMK.01/1988 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Analisa Keuangan Negara, Perkreditan dan Neraca Pembayaran.

Setelah berjalan lebih kurang empat tahun, susunan dan uraian tugas BAKNP&NP lebih dikembangkan dengan memasukkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Keuangan dan Moneter. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 32/KMK.01/1993, tanggal 6 Januari 1993, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Analisa Keuangan dan Moneter, selanjutnya nama BAKNP&NP diubah menjadi Badan Analisa Keuangan dan Moneter (BAKM). BAKM mempunyai empat biro, yaitu Biro Analisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Biro Analisa Moneter, Biro Analisa Keuangan Daerah, dan Biro Pengkajian Ekonomi dan Keuangan, serta Sekretariat Badan.

Seiring dengan berjalannya waktu, Badan Analisa Keuangan dan Moneter (BAKM) dengan Keputusan Presiden Nomor 177 tahun 2000, tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan tanggal 3 Januari 2001, BAKM disempurnakan dan namanya diganti menjadi Badan Analisa Fiskal (BAF), dengan memisahkan Biro Analisa Keuangan Daerah dan mengembangkan Pusat Analisa APBN, menjadi dua Pusat, yaitu Pusat Analisa Pendapatan Negara dan Pembiayaan Anggaran dan Pusat Analisa Belanja Negara.

Untuk menyesuaikan dengan kondisi yang cepat berubah, serta dalam rangka meningkatkan kinerja dan efisiensi di Departemen Keuangan, maka pada tanggal 23 Juni 2004 dilaksanakannya reorganisasi. Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional (BAPEKKI) adalah unit eselon I di Departemen Keuangan yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 2004 dan merupakan penggabungan dari beberapa unit eselon II yang berasal dari Badan Analisa Fiskal (BAF) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Pendapatan Daerah (Dirjen PKPD) serta Biro Kerjasama Luar Negeri dari Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan. Adapun Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan yaitu Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan (Puspeku), Pusat Pengkajian Perkajian Perpajakan, Kepabeanan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Puspakep), Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Daerah (Puspekda), Pusat Evaluasi Pajak dan Retribusi Daerah (Puseparda), Pusat Kerjasama Internasional (Puskerin), serta Sekretariat Badan.

Dengan adanya reorganisasi di Departemen Keuangan, pada tahun 2006 sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 nama Bapekki berubah menjadi Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan yaitu Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Pusat Kebijakan Belanja Negara, Pusat Kebijakan Ekonomi dan Keuangan, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Pusat Kerjasama Internasional serta Sekretariat Badan.

Kemudian seiring dengan berlakunya reformasi birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan dan penyesuaian tugas pokok dan fungsi BKF sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Keuangan maka struktur organisasi di lingkungan Badan Kebijakan Fiskal menjadi Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Pusat Kebijakan Kerja Sama Internasional, dan Sekretariat Badan Kebijakan Fiskal.

PEMBAHASAN
Jakarta (26/02) Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari 20 negara utama dunia (G20 Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting, atau G20 FMCBG Meeting) diselenggarakan  pada tanggal 25-26 Februari 2011 di Mexico City, Mexico. Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama dari serangkaian pertemuan sejenis yang direncanakan di tahun 2012 di bawah presidensi Pemerintah Mexico. Agenda pertemuan dirancang untuk menindaklanjuti arahan kepala negara  G20 yang bertemu di Cannes, Perancis (G20 Cannes Summit) pada 3-4  Nopember 2011 yang meminta G20 FMCBG melakukan berbagai kebijakan terkoordinasi untukk terealisasinya pertumbuhan ekonomi yang kuat, berimbang, dan berdaya tahan (Strong, Balance, and Sustained Growth) di kalangan negara anggota G20.
Penyelenggaraan FMCCBG  dipandang urgen dan tepat waktu mengingat situasi perekonomian dunia yang berada dalam ancaman krisis sebagai dampak tularan (contagion effect) dari krisis yang saat ini terjadi di Eropa. Walaupun telah terjadi perbaikan ekonomi yang lebih baik di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat yang mampu mencatat pertumbuhan ekonomi positif dan mengurangi pengangguran, ekonomi di negara-negara Eropa masih belum mampu keluar dari krisis. International Monetary Fund (IMF)  memprediksi pertumbuhan ekonomi global di tahun 2012 berada dalam kisaran 3,3% dengan  Eropa mencatat pertumbuhan ekonomi negatif. Pertumbuhan ekonomi di negara berkembang Asia diperkirakan sekitar 7,3%, dan mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya yang didorong oleh penurunan pertumbuhan negara-negara  utama di Asia seperti China dan India.
Berbagai penyebab dari belum berhasil keluarnya Eropa dari krisis diantaranya adalah lambatnya pengambil keputusan di Eropa dalam menangani penyelesaian krisis di beberapa negara Eropa pinggiran (pheripery) seperti Yunani, belum optimalnya konsolidasi fiskal dan reformasi struktural banyak negara Eropah yang menekankan pada penurunan defisit dan hutang, dan belum memadainya dana penanganan krisis (European firewall) yang disediakan oleh Eropa untuk memberikan keamanan bagi para investor dan institusi keuangan untuk melakukan aktifitas ekonomi dan bisnis di kawasan Eropa. Untuk memperkuat kemampuan Eropa dalam menangani krisis dan menurunkan risiko keuangan kawasan, dari berbagai skenario kajian disimpulkan perlunya tambahan dana minimal sekitar US$ 1 trillion yang diharapkan separuhnya berasal dari kawasan Eropa dan sisanya dari IMF.
Terhadap permintaan Eropa agar IMF memberikan dukungan pendanaan US$ 500 billion, Indonesia dan sebagian besar negara-negara G20 berpendapat bahwa bantuan IMF belum dinilai mendesak untuk diberikan mengingat Eropa masih memiliki kemampuan untuk menyediakan dana penyelesaian krisis kawasan termasuk perlunya Eropa melakukan reformasi struktural yang agresif. Namun, Indonesia dan negara-negara G20 sepakat sumber keuangan IMF perlu ditingkatkan sebagai bagian dari dana penyelematan keuangan global (global financial safety net) untuk antisipasi dan penanganan krisis yang dialami para anggota IMF. FMCBG mendiskusikan berbagai opsi penambahan sumber keuangan IMF diantaranya implementasi kesepakatan quota reform tahun 2010 yang diharapkan terealisasi pada tahun 2012 dan pinjaman bilateral negara anggota IMF.
FMCBG menyepakati peningkatan monitoring dan transparansi dari komitmen yang diberikan diantaranya di bidang fiskal, moneter, dan kebijakan pembangunan sebagai tindak lanjut dari G20 Cannes Summit. Untuk meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang kuat, berimbang dan berdaya tahan, FMCBG sepakat menyusun Rencana Aksi Los Cabos (Los Cabos Action Plan).
Untuk mengatasi terjadinya berbagai risiko sistemik baru termasuk menurunkan risiko keuangan yang ada, FMCBG menyepakati berbagai agenda reformasi regulasi keuangan seperti Basel II dan III, peningkatan regulasi dan pengawasan atas aktifitas shadow banking serta reformasi operasional pasar derivatif OTC (over the counter) sesuai komitmen kesepakatan waktu masing-masing negara G20, dan meminta Financial Stability Board (FSB) untuk memonitor implementasinya. FMCBG juga menerima rekomendasi FSB dalam pengaturan perusahaan pemberi peringkat (rating agency).
Dalam mengatasi volatilitas harga komoditas dan energi, FMCBG meminta berbagai lembaga multilateral terkait untuk menyampaikan rekomendasi dampak volatilitas harga terhadap pertumbuhan ekonomi dan menyediakan berbagai opsi yang dapat diambil oleh negara anggota untuk mengatasi volatilitas harga komoditas. Indonesia yang menjadi ketua bersama kelompok kerja komoditas dan energi mendorong negara-negara G20 untuk melakukan koordinasi kebijakan makro ekonomi dan pengawasan untuk tercapainya stabilitas harga komoditas dan pembatasan perdagangan spekulatif.
FMCBG juga menyepakati berbagai agenda kerjasama lainnya seperti agenda financial inclusion yang diantara dukungan G20 bagi program edukasi keuangan dan proteksi konsumen, dan peningkatan kerjasama untuk transparansi dan pertukaran informasi antar negara anggota diantaranya atas money laundering dan pembiayaan terorisme. FMCBG juga mendiskusikan agenda green growth dan pembangunan berkelanjutan terhadap reformasi struktural, dan peranan managemen risiko bencana (disaster risk management) dalam antisipasi bencana dan mitigasi kerugian. FMCBG meminta lembaga multilateral terkait untuk melakukan kajian lebih lanjut, dan menyampaikan opsi rekomendasi implementasinya.
FMCBG sepakat untuk melakukan pertemuan kedua di Washington, Amerika Serikat pada Bulan April mendatang.

Jakarta (02/03) Badan Kebijakan Fiskal kembali menerima kunjungan mahasiswa, kali ini dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Program Studi Diploma IV Keuangan Spesialisasi Akuntansi. Enam puluh mahasiswa yang hadir didampingi beberapa dosen pembimbing, datang untuk lebih mengenal dan memahami tugas pokok BKF sebagai bagian dari Kementerian Keuangan. Sekretaris BKF, Andin Hadiyanto, menyambut baik kedatangan para mahasiswa dan membuka acara dengan memberi gambaran bagaimana BKF berperan penting dalam pembuatan kebijakan fiskal mulai dari perumusan asumsi makro hingga kebijakan yang tertuang dalam APBN.
Sesi diskusi dimulai dengan pemaparan mengenai Perkembangan Ekonomi Terkini oleh Thomas Natalis Primordiartha Dile Keraf, S.E., M.A. Selain menyampaikan mengenai perekonomian global yang selalu dipantau BKF melalui Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Thomas juga menjelaskan kondisi perekonomian domestik. “Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,5% pada tahun 2011 didorong oleh konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor” terangnya. Ia juga menambahkan bahwa tahun 2012 investasi diperkirakan mampu tumbuh signifikan seiring masuknya Indonesia dalam investment grade pembangunan infrastruktur dan investasi pembelian barang modal pada industri otomotif.
Kebijakan Fiskal dan APBN 2012 menjadi tema pada sesi diskusi berikutnya yang disampaikan oleh Widiyanto, SE, MA. dari Pusat Kebijakan APBN. Widi menjelaskan bahwa sebagai instrumen utama kebijakan fiskal, APBN memiliki peranan strategis dalam mencapai tujuan dan sasaran pembangunan yang mencakup empat pilar, yaitu pro-poor, pro-job, pro-growth dan pro-environment. “Agar kebijakan fiskal mempunyai arah yang jelas dan berkesinambuingan, pemerintah melakukan optimalisasi pendapatan negara, meningkatkan efisiensi & efektifitas belanja negara, meningkatkan belanja infrastruktur, mengendalikan defisit dalam batas aman yaitu kurang dari 3% PDB, mengurangi utang secara bertahap dan mencari sumber pembiayaan yang rendah resiko” paparnya.
Diskusi setengah hari yang dipandu Evi Subardi, SE berlangsung dengan hangat dan antusias. Para mahasiswa mengajukan beragam pertanyaan kepada narasumber mulai dari kebijakan subsidi hingga kiat pemerintah untuk mengatasi dampak kenaikan BBM di masyarakat. Diskusi semakin menarik karena panitia menyediakan door prize dan bingkisan menarik untuk para peserta.(DW)


Jakarta (02/03): Kementerian Keuangan berkomitmen untuk turut serta dalam percepatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia. Hal ini diwujudkan dengan pemberian jaminan dalam rangka mendukung pemenuhan pembiayaan proyek-proyek pembangkit listrik tersebut. Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU) atas proyek PLTP Muaralaboh dan PLTP Rajabasa ditandatangani pagi ini di gedung Juanda, kompleks Kementerian Keuangan oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Jaminan tersebut diberikan kepada pihak pengembang apabila terjadi resiko gagal bayar oleh PT PLN (Persero). Selain itu, Kementerian Keuangan juga menyediakan Fasilitas Dana Geothermal melalui diterbitkannya PMK Nomor 03/PMK.011/2012 yang merupakan bentuk dukungan pemerintah Indonesia untuk kegiatan eksplorasi panas bumi.
Menteri Keuangan mengungkapkan bahwa kedua proyek PLTP ini merupakan bagian dari proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2010. Pada kedua proyek tersebut, pemerintah memberi mandat kepada PT PLN (Persero) yang telah menjalin kerja sama jual beli listrik dengan konsorsium PT Supreme Energy, International Power GDF Suez dan Sumitomo Corporation. Power Purchase Agreement (PPA) atas kerjasama tersebut ditandangani di tempat yang sama oleh Direktur Utama PLN, Nur Pamudji dan Direktur Utama PT Supreme Energy, Supramu Santoso, disaksikan oleh Menteri Keuangan, Agus Martowardojo,  Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa dan Menteri ESDM, Jero Wacik.
Dalam Sambutannya, Hatta Rajasa mengungkapkan optimismenya terhadap masa depan energi panas bumi dengan dimulainya proyek berkapasitas 10.000MW tahap 2 ini. Dengan ditandatanganinya kerjasama dalam proyek tersebut, Hatta juga berharap program Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menguunakan Energi Terbarukan, Batubara dan Gas akan dapat berjalan sesuai rencana.
Proyek PLTP Muaralaboh berlokasi di Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Panas Bumi di Liki Pinangawan, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Sedangkan PLTP Rajabasa terletak di WKP panas bumi Gunung Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Masing-masing PLTP berkapasitas 2x110MW dan bernilai 661 juta USD untuk Muaralaboh dan 683 juta USD untuk Rajabasa. (DW)

KEBIJAKAN MONETER BANK INDONESIA


PENDAHULUAN
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.
TEORI
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar

2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policu)

Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.

2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.

4. Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.

PEMBAHASAN
Bank Indonesia berwenang menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi. Bank Indonesia juga dapat melakukan upaya pengendalian moneter antara lain melalui:
(i)            operasi pasar terbuka,
(ii)          penetapan tingkat diskonto,
(iii)         (iii) penetapan cadangan wajib minimum,
(iv)         pengaturan kredit atau pembiayaan.
Cara-cara pengendalian moneter juga dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah.
:: Operasi Pasar Terbuka (OPT)
OPT merupakan salah satu instrumen moneter Bank Indonesia untuk mengendalikan jumlah uang Rupiah yang beredar. Mekanisme pengendalian uang primer melalui OPT dapat dilakukan melalui penjualan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), pembelian surat berharga, ataupun intervensi di pasar valuta asing.
:: Penetapan Tingkat Diskonto
Bank Indonesia dapat pula memelihara stabilitas moneter dengan menentukan tingkat diskonto dalam OPT maupun dalam menjalankan fungsi lender of the last resort.
:: Penetapan Cadangan Wajib Minimum
Penetapan Cadangan Wajib Minimum merupakan kebijakan yang menetapkan sejumlah aktiva lancar yang harus dicadangkan oleh setiap bank, yang besarnya merupakan presentase dari kewajiban segeranya. Bila dipandang perlu, Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter dengan menaikkan atau menurunkan besar Cadangan Wajib Minimum yang harus ditahan oleh setiap bank.
:: Peran sebagai Lender of the Last Resort
Bank Indonesia dapat berfungsi sebagai lender of the last resort dengan memberikan kredit atau pembiayaan kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek (maksimal 90 hari). Bank penerima pinjaman wajib menyediakan agunan yang berkualitas tinggi dengan nilai minimal sama dengan jumlah pinjaman.
:: Kebijakan Nilai Tukar
Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam rangka tercapainya stabilitas moneter. Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk terciptanya iklim yang kondusif bagi peningkatan kegiatan dunia usaha. Secara garis besar, sejak tahun 1970, Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar tetap mulai tahun 1970 sampai tahun 1978, sistem nilai tukar mengambang terkendali sejak tahun 1978, dan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate system) sejak 14 Agustus 1997. Dengan diberlakukannya sistem yang terakhir ini, nilai tukar Rupiah sepenuhnya ditentukan oleh pasar sehingga kurs yang berlaku adalah benar-benar merupakan cerminan keseimbangan antara kekuatan penawaran dan permintaan. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, Bank Indonesia pada waktu-waktu tertentu melakukan upaya sterilisasi pada pasar valuta asing, khususnya pada saat terjadi gejolak kurs yang berlebihan.
:: Pengelolaan Cadangan Devisa
Cadangan devisa yang dikelola Bank Indonesia antara lain terdiri dari emas moneter, cadangan di IMF, cadangan dalam valuta asing, hak atas devisa yang setiap waktu dapat ditarik dari suatu badan keuangan internasional, dan tagihan lainnya. Cadangan devisa ini dikelola Bank Indonesia agar mencapai jumlah yang cukup untuk melaksanakan kebijakan moneter. Pengelolaan cadangan devisa lebih mengutamakan tercapainya tujuan likuiditas dan keamanan daripada maksimalisasi keuntungan. Walaupun demikian, Bank Indonesia tetap mempertimbangkan perkembangan yang terjadi di pasar internasional dalam menentukan komposisi portofolio penempatan cadangan devisa. Bank Indonesia menerapkan sistem diversifikasi dalam pengelolaan cadangan devisa, baik berdasarkan jenis valuta asing maupun berdasarkan jenis investasi surat berharga. Dengan cara tersebut diharapkan penurunan nilai dalam salah satu mata uang dapat dikompensasi oleh jenis mata uang lainnya atau penempatan lain yang mempunyai kinerja yang lebih baik.


Kamis, 01 Maret 2012

pasar oligopoli



Pasar adalah suatu tempat atau proses interaksi antara
permintaan (pembeli) dan penawaran (penjual) dari suatu barang/jasa tertentu,
sehingga akhirnya dapat menetapkan harga keseimbangan (harga pasar) dan jumlah
yang diperdagangkan. Jadi setiap proses yang mempertemukan antara pembeli dan
penjual, maka akan membentuk harga yang disepakati antara pembeli dan penjual.
Secara sederhana pasar dapat dikelompokkan
menjadi:
1. Menurut segi fisiknya, pasar dapat dibedakan menjadi beberapa macam, di
antaranya:
  • pasar tradisional
  • pasar raya
  • pasar abstrak
  • pasar konkrit
  • toko swalayan
  • toko serba ada, dll
2. Berdasarkan jenis barang yang dijual, pasar dibedakan menjadi beberapa
macam di antaranya:
  • pasar ikan
  • pasar sayuran
  • pasar buah-buahan
  • pasar barang elektronik
  • pasar barang perhiasan
  • pasar bahan bangunan
  • bursa efek dan saham, dll
1.2 Pengertian struktur Pasar
Struktur pasar adalah karakteristik organisasi pasar yang mempengaruhi sifat kompetisi dan harga di dalam pasar(BAIN,1952)
1.3 Unsur-Unsur Struktur Pasar,terdiri dari:
  • konsentrasi
  • differensiasi produk
  • ukuran perusahaan
  • hambatan masuk
  • integrasi vertikal
  • diversifikasi


Pasar Oligopoli

Pasar oligopoli adalah suatu bentuk persaingan pasar yang didominasi oleh beberapa produsen atau penjual dalam satu wilayah area. Contoh industri yang termasuk oligopoli adalah industri semen di Indonesia, industri mobil di Amerika Serikat, dan sebagainya. Sifat-sifat pasar oligopoli :
- Harga produk yang dijual relatif sama
- Pembedaan produk yang unggul merupakan kunci sukses
- Sulit masuk ke pasar karena butuh sumber daya yang besar
- Perubahan harga akan diikuti perusahaan lain

Batasan tentang struktur pasar oligopoli sering dikaitkan dengan jumlah produsen yang sedikit, tetapi seperti telah diuraikan pengertian sedikit itu sangatlah relatif. Dapat saja terjadi jumlah produsen (bisa juga pedagang) ratusan, tetapi strukturnya tetap merupakan oligopoli. Pengertian ini lebih relevan kalau yang dimaksudkan adalah pasar dikuasai oleh sedikit produsen atau sedikit penjual. Nah, dalam pengertian sedikit ini masih terjadi variasi, ada yang mengatakan 4 perusahaan, ada yang mengatakan 8 perusahaan, tetapi ada juga penguasaan sebagian besar oleh 20 perusahaan. Lazimnya sekitar empat dan delapan perusahaan yang menguasai pasar.
Jenis-jenis oligopoli juga tidaklah sesederhana yang dipelajari dalam teori-teori ekonomi mikro. Tetapi secara garis besar dapat dibagi 2, yakni kolusif dan tidak kolusif kalau dilihat dari perilakunya, dan dilihat dari penguasaan pasar dapat juga dibagi dua, yakni oligopoli penuh dan parsial. Jenis-jenis oligopoli ini berkaitan pula dengan perilakunya yang akan diuraikan pada bagian kedua. Namun demikian, pengukuran yang agak realistik adalah pengukuran yang digunakan oleh J.S. Bain. Dalam pengukuran ini terlihat adanya derajat struktur oligopoli.
Tingkat konsentrasi industri dapat juga diukur dengan menggunakan kurva Lorenz, demikian juga jika ingin melihat kesenjangan dalam andil perusahaan dalam industri dapat pula diukur dengan menggunakan angka Gini. Kesejahteraan ini dapat diukur dalam besaran produksi, nilai tambah, tenaga kerja dan modal atau asset yang dimiliki perusahaan. Tingkat kesenjangan mungkin relatif rendah pada industri oligopoli penuh, pada hal industri ini mempunyai tingkat konsentrasi yang relatif tinggi. Sebaliknya, industri oligopoli parsial relatif akan lebih senjang, sedangkan konsentrasinya relatif rendah. Dalam industri oligopoli penuh tidak ditemukan perusahaan berskala kecil, sedangkan pada oligopoli parsial, sering atau banyak ditemukan perusahaan yang berskala kecil. Beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan konsentrasi, antara lain adalah faktor efisiensi, skala ekonomi, kebijaksanaan pemerintah, sifat produk, merger dan kemajuan teknologi. Semua faktor ini dapat berkombinasi atau berdiri sendiri-sendiri.

Perilaku Oligopoli
Perilaku oligopoli tidak dapat digambarkan secara menyeluruh dan umum, tetapi merupakan teori-teori khusus yang menggambarkan perilaku untuk mencapai tujuannya (kinerja industri). Kesulitan pertama karena adanya indeterminate, yakni tidak ada titik keseimbangan yang deterministik. Beberapa teori yang diuraikan tadi adalah sekadar ilustrasi bagaimana berbagai teori itu disusun dan dirumuskan dengan asumsi-asumsinya masing-masing. Setiap pengritik, akan melihat bahwa kelemahan-kelemahan teori itu terletak pada asumsi-asumsinya. Para ahli organisasi industri bertolak dari struktur telah mencoba melakukan kajian tentang perilaku industri oligopoli yang kolusif, yakni model pimpinan harga. Hal ini pun masih dibagi lagi atas tiga tipe, yakni tipe yang mempunyai biaya rendah, perusahaan yang dominan, dan barometrik. Teori ini menganggap bahwa perusahaan yang berskala besar mengetahui seluruh biaya perusahaan dan permintaan pasar. Semakin rendah tingkat harga semakin besar bagian kebutuhan pasar yang dapat dipasok oleh perusahaan yang berskala besar.
Selanjutnya, Bain telah menyusun teori harga-batas, yakni suatu industri akan melakukan rintangan masuk melalui permainan tingkat harga. Jika harga diturunkan, produksi meningkat dan pendatang baru akan tidak jadi masuk industri, tetapi pada suatu waktu industri ini dapat mengurangi produksi dan memperoleh laba abnormal dan hail ini menarik untuk entry. Kalau akan ada entry, mereka gunakan entry-gap. Teori-teori marjinal mendapat kritik, terutama dari Hall dan Hitch. Atas penelitian yang dilakukannya maka perusahaan tidak menggunakan analisis biaya marjinal dan hasil marjinal, tetapi menentukan biaya rata-rata. Dengan biaya rata-rata ini berkembang pula teori mark-up, yakni biaya variabel rata-rata ditambah dengan persentase tertentu untuk keuntungan. Keuntungan ini dapat bersifat bruto maupun neto.

Ciri-ciri pasar oligopoli
  • Terdapat banyak penjual/ produsen ya ng menguasai pasar.
  • Barang yang dijual dapat berupa brang homogen atau berbeda corak.
  • Terdapat halangan masuk yang cukup kuat bagi perusahaan di luar pasar untuk masuk kedalam pasar.
  • Satu diantara para oligopolis merupakan market leader yaitu penjual yang mempunyai pangsa pasar terbesar.


Dampak negatif oligopi terhadap perekonomian:
  • Keuntungan yang yang terlalu besar bagi produsen dalam jangka panjang
  • Timbul inifisiensi produksi
  • Eksploitasi terhadap konsumen dan karyawan perusahaan
  • Harga tinggi yang relatif stabil (sulit turun) menunjang inflasi yang kronis
  • Kebijakan pemerintah dalam mengatasi oligopoli
  • Pemerintah mempermudah masuknya perusahaan baru untuk masuk kepasar untuk menciptakan persaingan
  • Diberlakukannya undang-undang anti kerja sama antar produsen.
Macam-macam pasar oligopoli :
  • Pasar oligopoli murni (pure oligopoly). Ini merupakan praktek oligopoli dimana barang yang diperdagangkan merupakan barang yang bersifat identik.contohnya : praktek pasar oligopoli dalam produk sabun mandi.
  • Pasar oligopoli dengan pembedaan (differentiated oligopoly)
    Pasar ini merupakan suatu bentuk praktek oligopoli dimana barang yang diperdagangkan dapat dibedakan.contohnya : praktek pasar oligopoli dalam produk mobil.
pasar oligopoli memiliki KELEBIHAN sebagai berikut :
  1. Adanya efisiensi dalam menjalankan kegiatan produksi
  2. Persaingan di antara perusahaan akan memberikan keuntungan bagi konsumen dalam hal harga dan kualitas barang.
Pasar oligopoli juga memiliki KELEMAHAN, yaitu :
  1. Dibutuhkan investasi dan modal yang besar untuk memasuki pasar, karena adanya skala ekonomis yang telah diciptakan perusahaan sehingga sulit bagi pesaing baru untuk masuk ke dalam pasar.
  2. Apabila terdapat perusahaan yang memiliki hak paten atas sebuah produk, maka tidak memungkinkan bagi perusahaan lain untuk memproduksi barang sejenis.
  3. Perusahaan yang telah memiliki pelanggan setia akan menyulitkan perusahaan lain untuk menyainginya