Minggu, 27 November 2011

PENGEMBANGAN DARI UMKM



1.1 Pengenalan Dasar UKM
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Dalam krisis ekonomi yang terjadi di negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala besar yang mengalami stagnasi bahkan berhenti aktifitasnya, sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terbukti lebih tangguh dalam menghadapi krisis tersebut. Mengingat pengalaman yang telah dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya tidak berlebihan apabila pengembangan sektor swasta difokuskan pada UKM, terlebih lagi unit usaha ini seringkali terabaikan hanya karena hasil produksinya dalam skala kecil dan belum mampu bersaing dengan unit usaha lainnya.
Pengembangan UKM perlu mendapatkan perhatian yang besar baik dari pemerintah maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu diupayakan lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM. Pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam memberdayakan UKM disamping mengembangkan kemitraan usaha yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil, dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya.
1.2 Pengembangan Sektor UKM
Pengembangan terhadap sektor swasta merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi perlu untuk dilakukan. UKM memiliki peran penting dalam pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari tumbuhnya usaha besar. “Hampir semua usaha besar berawal dari UKM. Usaha kecil menengah (UKM) harus terus ditingkatkan (up grade) dan aktif agar dapat maju dan bersaing dengan perusahaan besar. Jika tidak, UKM di Indonesia yang merupakan jantung perekonomian Indonesia tidak akan bisa maju dan berkembang. Satu hal yang perlu diingat dalam pengembangan UKM adalah bahwa langkah ini tidak semata-mata merupakan langkah yang harus diambil oleh Pemerintah dan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pihak UKM sendiri sebagai pihak yang dikembangkan, dapat mengayunkan langkah bersama-sama dengan Pemerintah. Selain Pemerintah dan UKM, peran dari sektor Perbankan juga sangat penting terkait dengan segala hal mengenai pendanaan, terutama dari sisi pemberian pinjaman atau penetapan kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait dengan ketersediaan dana atau modal, peran dari para investor baik itu dari dalam maupun luar negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan.
Pemerintah pada intinya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan tiga hal masalah klasik yang kerap kali menerpa UKM, yakni akses pasar, modal, dan teknologi yang selama ini kerap menjadi pembicaraan di seminar atau konferensi. Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha UKM, antara lain kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi, akses pembiayaan, akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM, ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis, dan kompetisi.
Perlu disadari, UKM berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan dinamis. Jadi, upaya mengembangkan UKM tidak banyak berarti bila tidak mempertimbangkan pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas. Konsep pembangunan yang dilaksanakan akan membentuk ‘aturan main’ bagi pelaku usaha (termasuk UKM) sehingga upaya pengembangan UKM tidak hanya bisa dilaksanakan secara parsial, melainkan harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi nasional dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Kebijakan ekonomi (terutama pengembangan dunia usaha) yang ditempuh selama ini belum menjadikan ikatan kuat bagi terciptanya keterkaitan antara usaha besar dan UKM.
Saat ini, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah berencana untuk menciptakan 20 juta usaha kecil menengah baru tahun 2020. Tahun 2020 adalah masa yang menjanjikan begitu banyak peluang karena di tahun tersebut akan terwujud apa yang dimimpikan para pemimpin ASEAN yang tertuang dalam Bali Concord II. Suatu komunitas ekonomi ASEAN, yang peredaran produk-produk barang dan jasanya tidak lagi dibatasi batas negara, akan terwujud. Kondisi ini membawa sisi positif sekaligus negatif bagi UKM. Menjadi positif apabila produk dan jasa UKM mampu bersaing dengan produk dan jasa dari negara-negara ASEAN lainnya, namun akan menjadi negatif apabila sebaliknya. Untuk itu, kiranya penting bila pemerintah mendesain program yang jelas dan tepat sasaran serta mencanangkan penciptaan 20 juta UKM sebagai program nasional.

2.1 Definisi UKM di Indonesia
Beberapa lembaga atau instansi bahkan UU memberikan definisi Usaha Kecil Menengah (UKM), diantaranya adalah Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), Badan Pusat Statistik (BPS), Keputusan Menteri Keuangan No 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, dan UU No. 20 Tahun 2008. Definisi UKM yang disampaikan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan.
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM berdasarkan kunatitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s.d. 99 orang. Berdasarkan Keputuasan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000 atau aset/aktiva setinggi-tingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah dan bangunan yang ditempati) terdiri dari : (1) badang usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi) dan (2) perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa)
2.2 Definisi dan Kriteria UKM menurut Lembaga dan Negara Asing
Pada prinsipnya definisi dan kriteria UKM di negara-negara asing didasarkan pada aspek-aspek sebagai berikut : (1) jumlah tenaga kerja, (2) pendapatan dan (3) jumlah aset. Paparan berikut adalah kriteria-kriteria UKM di negara-negara atau lembaga asing.
1.      World Bank, membagi UKM ke dalam 3 jenis, yaitu :
  • Medium Enterprise, dengan kriteria :
1.      Jumlah karyawan maksimal 300 orang
2.      Pendapatan setahun hingga sejumlah $ 15 juta
3.      Jumlah aset hingga sejumlah $ 15 juta
  • Small Enterprise, dengan kriteria :
  • Micro Enterprise, dengan kriteria :
  1. Jumlah karyawan kurang dari 30 orang
  2. Pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta
  3. Jumlah aset tidak melebihi $ 3 juta
1.      Jumlah karyawan kurang dari 10 orang
2.      Pendapatan setahun tidak melebihi $ 100 ribu
3.      Jumlah aset tidak melebihi $ 100 ribu
2.      Singapura mendefinisikan UKM sebagai usaha yang memiliki minimal 30% pemegang saham lokal serta aset produktif tetap (fixed productive asset) di bawah SG $ 15 juta.
3.      Malaysia, menetapkan definisi UKM sebagai usaha yang memiliki jumlah karyawan yang bekerja penuh (full time worker) kurang dari 75 orang atau yang modal pemegang sahamnya kurang dari M $ 2,5 juta. Definisi ini dibagi menjadi dua, yaitu :
  • Small Industry (SI), dengan kriteria jumlah karyawan 5 – 50 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu
  • Medium Industry (MI), dengan kriteria jumlah karyawan 50 – 75 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu – M $ 2,5 juta.
4.      Jepang, membagi UKM sebagai berikut :
  • Mining and manufacturing, dengan kriteria jumah karyawan maksimal 300 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah US$2,5 juta.
  • Wholesale, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 840 ribu
  • Retail, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 54 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 820 ribu
  • Service, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 420 ribu

2.3 Klasifikasi UKM

Dalam perspektif perkembangannya, UKM dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok yaitu :
1.      Livelihood Activities, merupakan UKM yang digunakan sebagai kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang lebih umum dikenal sebagai sektor informal. Contohnya adalah pedagang kaki lima
2.      Micro Enterprise, merupakan UKM yang memiliki sifat pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan
3.      Small Dynamic Enterprise, merupakan UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan subkontrak dan ekspor
4.      Fast Moving Enterprise, merupakam UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan melakukan transformasi menjadi Usaha Besar (UB)

2.4 Undang-Undang dan Peraturan Tentang UKM

Berikut ini adalah list beberapa UU dan Peraturan tentang UKM :
1.      UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
2.      PP No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan
3.      PP No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil
4.      Inpres No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah
5.      Keppres No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar Dengan Syarat Kemitraan
6.      Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah
7.      Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan
8.      Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara
9.      Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

2.5 Kinerja UKM di Indonesia

UKM di negara berkembang, seperti di Indonesia, sering dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri seperti tingginya tingkat kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak merata antara daerah perkotaan dan perdesaan, serta masalah urbanisasi. Perkembangan UKM diharapkan dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya-upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut di atas.
Karakteristik UKM di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh AKATIGA, the Center for Micro and Small Enterprise Dynamic (CEMSED), dan the Center for Economic and Social Studies (CESS) pada tahun 2000, adalah mempunyai daya tahan untuk hidup dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerjanya selama krisis ekonomi. Hal ini disebabkan oleh fleksibilitas UKM dalam melakukan penyesuaian proses produksinya, mampu berkembang dengan modal sendiri, mampu mengembalikan pinjaman dengan bunga tinggi dan tidak terlalu terlibat dalam hal birokrasi.
UKM di Indonesia dapat bertahan di masa krisis ekonomi disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu :
1.      Sebagian UKM menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama,
2.      Mayoritas UKM lebih mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha,
3.      Pada umumnya UKM melakukan spesialisasi produk yang ketat, dalam arti hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja, dan
4.      Terbentuknya UKM baru sebagai akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal.
UKM di Indonesia mempunyai peranan yang penting sebagai penopang perekonomian. Penggerak utama perekonomian di Indonesia selama ini pada dasarnya adalah sektor UKM.      Kinerja UKM di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu :
1.      Nilai Tambah
Kinerja perekonomian Indonesia yang diciptakan oleh UKM tahun 2006 bila dibandingkan tahun sebelumnya digambarkan dalam angka Produk Domestik Bruto (PDB) UKM pertumbuhannya mencapai 5,4 persen. Nilai PDB UKM atas dasar harga berlaku mencapai Rp 1.778,7 triliun meningkat sebesar Rp 287,7 triliun dari tahun 2005 yang nilainya sebesar 1.491,2 triliun. UKM memberikan kontribusi 53,3 persen dari total PDB Indonesia. Bilai dirinci menurut skala usaha, pada tahun 2006 kontribusi Usaha Kecil sebesar 37,7 persen, Usaha Menengah sebesar 15,6 persen, dan Usaha Besar sebesar 46,7 persen.
2.      Unit Usaha dan Tenaga Kerja
Pada tahun 2006 jumlah populasi UKM mencapai 48,9 juta unit usaha atau 99,98 persen terhadap total unit usaha di Indonesia. Sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang.
3.      Ekspor UKM
Hasil produksi UKM yang diekspor ke luar negeri mengalami peningkatan dari Rp 110,3 triliun pada tahun 2005 menjadi 122,2 triliun pada tahun 2006. Namun demikian peranannya terhadap total ekspor non migas nasional sedikit menurun dari 20,3 persen pada tahun 2005 menjadi 20,1 persen pada tahun 2006.

2.6 Kemitraan Usaha dan Masalahnya

Dalam menghadapi persaingan di abad ke-21, UKM dituntut untuk melakukan restrukturisasi dan reorganisasi dengan tujuan untuk memenuhi permintaan konsumen yang makin spesifik, berubah dengan cepat, produk berkualitas tinggi, dan harga yang murah . Salah satu upaya yang dapat dilakukan UKM adalah melalui hubungan kerjasama dengan Usaha Besar (UB). Kesadaran akan kerjasama ini telah melahirkan konsep supply chain management (SCM) pada tahun 1990-an. Supply chain pada dasarnya merupakan jaringan perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Pentingnya persahabatan, kesetiaan, dan rasa saling percaya antara industri yang satu dengan lainnya untuk menciptakan ruang pasar tanpa pesaing, yang kemudian memunculkan konsep blue ocean strategy.
Kerjasama antara perusahaan di Indonesia, dalam hal ini antara UKM dan UB, dikenal dengan istilah kemitraan (Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan). Kemitraan tersebut harus disertai pembinaan UB terhadap UKM yang memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya, memulai membangun strategi, melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi sampai target tercapai. Pola kemitraan antara UKM dan UB di Indonesia yang telah dibakukan, menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, terdiri atas 5 (lima) pola, yaitu : (1).Inti Plasma, (2).Subkontrak, (3).Dagang Umum, (4).Keagenan, dan (5).Waralaba.
Pola pertama, yaitu inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara UKM dan UB sebagai inti membina dan mengembangkan UKM yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Dalam hal ini, UB mempunyai tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) untuk membina dan mengembangkan UKM sebagai mitra usaha untuk jangka panjang.
Pola kedua, yaitu subkontrak merupakan hubungan kemitraan UKM dan UB, yang didalamnya UKM memproduksi komponen yang diperlukan oleh UB sebagai bagian dari produksinya. Subkontrak sebagai suatu sistem yang menggambarkan hubungan antara UB dan UKM, di mana UB sebagai perusahaan induk (parent firma) meminta kepada UKM selaku subkontraktor untuk mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung jawab penuh pada perusahaan induk. Selain itu, dalam pola ini UB memberikan bantuan berupa kesempatan perolehan bahan baku, bimbingan dan kemampuan teknis produksi, penguasaan teknologi, dan pembiayaan.
Pola ketiga, yaitu dagang umum merupakan hubungan kemitraan UKM dan UB, yang di dalamnya UB memasarkan hasil produksi UKM atau UKM memasok kebutuhan yang diperlukan oleh UB sebagai mitranya. Dalam pola ini UB memasarkan produk atau menerima pasokan dari UKM untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh UB.
Pola keempat, yaitu keagenan merupakan hubungan kemitraan antara UKM dan UB, yang di dalamnya UKM diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa UB sebagai mitranya. Pola keagenan merupakan hubungan kemitraan, di mana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga.
Pola kelima, yaitu waralaba merupakan hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen. Dalam pola ini UB yang bertindak sebagai pemberi waralaba menyediakan penjaminan yang diajukan oleh UKM sebagai penerima waralaba kepada pihak ketiga.
Kemitraan dengan UB begitu penting buat pengembangan UKM. Kunci keberhasilan UKM dalam persaingan baik di pasar domestik maupun pasar global adalah membangun kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang besar. Pengembangan UKM memang dianggap sulit dilakukan tanpa melibatkan partisipasi usaha-usaha besar. Dengan kemitraan UKM dapat melakukan ekspor melalui perusahaan besar yang sudah menjadi eksportir, baru setelah merasa kuat dapat melakukan ekspor sendiri. Disamping itu, kemitraan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kesenjangan antara UKM dan UB. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tumbuh kembangnya UKM di Indonesia tidak terlepas dari fungsinya sebagai mitra dari UB yang terikat dalam suatu pola kemitraan usaha.
Manfaat yang dapat diperoleh bagi UKM dan UB yang melakukan kemitraan diantaranya adalah Pertama, dari sudut pandang ekonomi, kemitraan usaha menuntut efisiensi, produktivitas, peningkatan kualitas produk, menekan biaya produksi, mencegah fluktuasi suplai, menekan biaya penelitian dan pengembangan, dan meningkatkan daya saing. Kedua, dari sudut moral, kemitraan usaha menunjukkan upaya kebersamaan dam kesetaraan. Ketiga, dari sudut pandang soial-politik, kemitraan usaha dapat mencegah kesenjangan sosial, kecemburuan sosial, dan gejolah sosial-politik. Kemanfaatan ini dapat dicapai sepanjang kemitraan yang dilakukan didasarkan pada prinsip saling memperkuat, memerlukan, dan menguntungkan.
Keberhasilan kemitraan usaha sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnisnya. Pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam kemitraan harus memiliki dasar-dasar etikan bisnis yang dipahami dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam menjalankan kemitraan. Menurut Keraf (1995) etika adalah sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Dengan demikian, keberhasilan kemitraan usaha tergantung pada adanya kesamaan nilai, norma, sikap, dan perilaku dari para pelaku yang menjalankan kemitraan tersebut.
2.7 Permasalahan yang Dihadapi UKM
Pada umumnya, permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), antara lain meliputi:
  • Faktor Internal
1.      Kurangnya Permodalan dan Terbatasnya Akses Pembiayaan
Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar bagi UKM adalah adanya ketentuan mengenai agunan karena tidak semua UKM memiliki harta yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.
2.      Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya.
3.      Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.
4.      Mentalitas Pengusaha UKM
Hal penting yang seringkali pula terlupakan dalam setiap pembahasan mengenai UKM, yaitu semangat entrepreneurship para pengusaha UKM itu sendiri.[17] Semangat yang dimaksud disini, antara lain kesediaan terus berinovasi, ulet tanpa menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko.[18] Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari UKM seringkali memiliki andil juga dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja UKM di daerah berjalan dengan santai dan kurang aktif sehingga seringkali menjadi penyebab hilangnya kesempatan-kesempatan yang ada.
5.      Kurangnya Transparansi
Kurangnya transparansi antara generasi awal pembangun UKM tersebut terhadap generasi selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang disembunyikan dan tidak diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya menjalankan usaha tersebut sehingga hal ini menimbulkan kesulitan bagi generasi penerus dalam mengembangkan usahanya.
  • Faktor Eksternal
1.      Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif
Upaya pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun ke tahun selalu dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal kontribusinya terhadap penciptaan produk domestik brutto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor dan perkembangan pelaku usahanya serta keberadaan investasi usaha kecil dan menengah melalui pembentukan modal tetap brutto (investasi).[19] Keseluruhan indikator ekonomi makro tersebut selalu dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan UKM serta menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya.
Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha-pengusaha besar.
Kendala lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan perijinan untuk menjalankan usaha mereka. Keluhan yang seringkali terdengar mengenai banyaknya prosedur yang harus diikuti dengan biaya yang tidak murah, ditambah lagi dengan jangka waktu yang lama. Hal ini sedikit banyak terkait dengan kebijakan perekonomian Pemerintah yang dinilai tidak memihak pihak kecil seperti UKM tetapi lebih mengakomodir kepentingan dari para pengusaha besar.
2.      Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh tempat untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena mahalnya harga sewa atau tempat yang ada kurang strategis.
3.      Pungutan Liar
Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal dengan pungutan liar menjadi salah satu kendala juga bagi UKM karena menambah pengeluaran yang tidak sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi sekali namun dapat berulang kali secara periodik, misalnya setiap minggu atau setiap bulan.
4.      Implikasi Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan mempunyai implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UKM. Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing UKM. Disamping itu, semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut.
5.      Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC Tahun 2020 berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia (HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu, UKM perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing baik secara keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif.
6.      Sifat Produk dengan Ketahanan Pendek
Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk-produk dan kerajinan-kerajian dengan ketahanan yang pendek. Dengan kata lain, produk-produk yang dihasilkan UKM Indonesia mudah rusak dan tidak tahan lama.
7.      Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.
8.      Terbatasnya Akses Informasi
Selain akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan dalam hal akses terhadap informasi. Minimnya informasi yang diketahui oleh UKM, sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap kompetisi dari produk ataupun jasa dari unit usaha UKM dengan produk lain dalam hal kualitas. Efek dari hal ini adalah tidak mampunya produk dan jasa sebagai hasil dari UKM untuk menembus pasar ekspor. Namun, di sisi lain, terdapat pula produk atau jasa yang berpotensial untuk bertarung di pasar internasional karena tidak memiliki jalur ataupun akses terhadap pasar tersebut, pada akhirnya hanya beredar di pasar domestik.
2.8 Langkah Penanggulangan Masalah
Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM dan langkah-langkah yang selama ini telah ditempuh, maka kedepannya, perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut:
1.      Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara lain dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.
2.      Bantuan Permodalan
Pemerintah perlu memperluas skema kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada maupun non bank. Lembaga Keuangan Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
3.      Perlindungan Usaha
Jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang bermuara kepada saling menguntungkan (win-win solution).
4.      Pengembangan Kemitraan
Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar UKM, atau antara UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Selain itu, juga untuk memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan demikian, UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.

PERUSAHAAN YANG PAILIT



Perselisihan antara Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dengan Crown Capital Global Limited (CCGL) perihal putusan TPI pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terus berkembang dilanjutkan munculnya kekhawatiran pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan TPI oleh kurator pailit TPI. Hal tersebut sangat berpengaruh pada hak karyawan yang dilindungi Undang-Undang No. 13 Tahun 2004 Tentang Ketenagakerjaan.
Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Syarat pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
Undang-Undang tidak menentukan PHK sebagai akibat tunggal atas pailit. Oleh karena itu, putusan pailit tersebut memberikan dua kemungkinan alternatif bagi TPI. Pertama, meski telah dinyatakan pailit, kurator pailit TPI dapat tetap menjalankan kegiatan usahanya dengan konsekwensi tetap membayar biaya usaha seperti biaya listrik, telepon, biaya karyawan, pajak, dan biaya lainnya. Kedua, kurator pailit TPI berhak melakukan PHK dengan dasar pasal 165 UU Ketenagakerjaan.
Jika kurator pailit TPI tetap ingin melakukan kegiatan usahanya tanpa melakukan PHK, maka karyawan TPI tetap memiliki hak selayaknya karyawan pada umumnya. Hak karyawan yang telah dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan seperti pengupahan, penempatan tenaga kerja, perlindungan, kesejahteraan, dan lain-lain. Putusan TPI pailit tidak mengurangi hak karyawan karena TPI tetap melakukan kegiatan usahanya meski dengan tumpuan kurator. Namun apabila TPI pailit kemudian telah disepakati bersama untuk melakukan PHK, maka kurator pailit TPI harus mematuhi pasal 165 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.
Jika kurator pailit TPI memilih untuk melakukan PHK, maka ia harus memenuhi hak karyawan yang terlindungi dalam pasal 165 tersebut yaitu membayar uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan di atas.
Dalam hal pailit tersebut mengakibatkan TPI melakukan penutupan perusahaan (lock out) maka karyawan TPI berhak untuk merundingkannya dengan para pihak yang berselisih disertai arahan suatu instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (pasal 149 UU Ketenagakerjaan). Jika perundingan tersebut malah mengakibatkan penolakan sebagian atau seluruh karyawan menjalankan pekerjaan, maka karyawan berhak menuntut atas dasar pasal 146 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh”.
Apa pun tindakan yang akan diambil TPI (jika akhirnya) paska putusan pailit dijatuhkan padanya, TPI harus tetap memberikan apa yang menjadi hak daripada para karyawannya yang telah dilindungi UU Ketenagakerjaan. Mengingat sekitar 1085 karyawan menggantungkan hidupnya dari pekerjaan di TPI, TPI juga harus mengupayakan agar jangan sampai terjadi PHK. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan : “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”←

PENGEMBANGAN ORGANISASI

1.      Kerjasama
Kerjasama atau bisa disebut dengan Kooperasi yaitu praktik seseorang atau kelompok yang lebih besar yang bekerja di khayalak dengan tujuan atau kemungkinan metode yang disetujui bersama secara umum, alih-alih bekerja secara terpisah dalam persaingan.

Jadi kita bisa melakukan Kerjasama dengan beberapa organisasi lainnya yang memiliki satu tujuan dengan organisasi kita. Contohnya Koperasi adalah Bentuk kerja sama di ranah bisnis, pertanian dan perusahaan.

Anak Perusahaan
Membuka anak perusahaan salah satu cara yang bisa di gunakan, kita ingin membuka jasa pengiriman paket/pos. Tapi sebelumnya perusahaan kita menjual peralatan elektronik maka oleh itu kita bisa menciptakan sebuah anak perusahaan yang masih dalam pengawasan perusahaan induk. Contoh BUMN memiliki beberapa anak perusahaan seperti PAM, PLN, TELKOM.

GO PUBLIK!
Yang di maksud GO PUBLIK adalah kita membuka pintu untuk Investor2/Masyarakat yang ingin ber investasi. Perusahaan yang sudah GO PUBLIK disebut dengan Perusahaan terbuka. Contoh sederhananya adalah perusahaan waralaba yang mengajak masyarakat/investor untuk menanam saham atau membuka franchise.




Selain 3 cara diatas ada pula faktor - faktor yang membuat organisasi harus berkembang agar bisa bertahan.

2.      Kekuatan eksternal 
3.      - Kompetisi yang semakin tajam antar organisasi. 
4.      - Perkembangan IPTEK. 
5.      - Perubahan lingkungan baik lingkungan fisik maupun sosial yang membuat organisasi berfikir bagaimana mendapatkan sumber diluar organisasi untuk masa depan organisasi. 
6.      Kekuatan internal 
7.      - Struktur.
- Sistem dan prosedur.
- Perlengkapan dan fasilitas.
- Proses dan sasaran.
- Bila tidak cocok akan membuat organisasi melakukan perbaikan. Perubahan organisasi dilakukan untuk mencocokkan dengan kebutuhan yang ada.   

Pengembangan Organisasi Publik


Proses Perubahan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh setiap organisasi. Organisasi akan selalu mengalami dinamika perubahan, baik yang disebabkan dari dalam maupun dari luar organisasi. Perubahan tidak harus terjadi begitu saja, namun perubahan harus mampu dikelola dengan baik. Pengelolaan perubahan diperlukan dalam rangka membantu proses perubahan menjadi lebih terarah. Apa itu perubahan organisasi, seperti apa saja itu model pengembangan organisasi, serta bagaimana contoh perubahan organisasi yang terjadi pada organisasi public dalam hal ini saya mengambil contoh PLN.Charles Darwin pernah mengatakan bahwa “Mereka yang berumur panjang bukanlah spesies yang terkuat namun mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan” Pernyataan tersebut bukan hanya berlaku pada makhluk hidup saja, namun berlaku juga bagi organisasi. Sebenarnya perusahaan pada dasarnya adalah sesosok makhluk hidup. Karena ia hidup maka ia dilahirkan, tumbuh, berkembang, sakit, tua, dan dapat mati seperti makhluk hidup lainnya. Jika ingin berumur panjang dan mampu bertahan hidup maka organisasi harus selalu adaptif terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan dan teknologi yang begitu cepat memaksa organisasi untuk menyesuaikan dirinya. Sudah banyak contoh organisasi atau perusahaan-perusahaan yang gagal dalam menyesuaikan dengan perubahan akhirnya tertinggal oleh pesaing-pesaingnya dan akhirnya mati. Namun sebaliknya organisasi-organisasi besar yang mau terus bergerak secara inovatif akan selalu mampu bertahan menyongsong perubahan.
Pengembangan Organisasi merupakan program yang berusaha meningkatkan efektivitas keorganisasian dengan mengintegrasikan keinginan bersama akan pertumbuhan dan perkembangan dengan tujuan keorganisasian. Pengembangan organisasi (PO) sebagai suatu disiplin perubahan perencanaan yang menekankan pada penerapan ilmu pengetahuan dan praktek keperilakuan untuk membantu organisasi-organisasi mencapai efektivitas yang lebih besar. Para manajer dan staf ahli harus bekerja dengan dan melalui orang-orang untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dan PO dapat membantu mereka membentuk hubungan yang efektif di antara mereka. Di dalam menghadapi akselerasi perubahan yang semakin cepat, PO diperlukan untuk bisa mengatasi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan tersebut.
Terkait Organisasi public yang sedang atau yang telah mengalami perubahan organisasi, saya mengambil satu contoh dari BUMN yakni PLN. Semenjak dikomandoi Dahlan Iskan, PLN tancap gas. Mantan bos media ini langsung menggagas gerakan tidak mati lampu. Tetapi fakta di lapangan mati lampu masih sering dijumpai. Namun, perubahan organisasi di PLN kentara terasa. Karakter Dahlan iskan dalam memimpin merembes pada karakter PLN. Misalnya, Dahlan siap dipenjara terkait penjaminan listrik. Ada dua hal yang tidak bisa dibantah dalam strategi perubahan organisasi. Pertama, perubahan organisasi adalah bicara perubahan budaya kerja yang ada dalam organisasi. Sebuah hal yang mustahil, organisasi bisa berubah kalau budayanya tidak berubah. Karena peran dan personality pemimpin adalah sangat menentukan budaya organisasi yang dipimpinnya; maka perubahan budaya sangat lekat denga perubahan pola kepemimpinan.
Kedua, seringkali perubahan organisasi sukses ketika ada pemimpin yang didukung dari ‘atas’ dan mampu menjangkau yang di ‘bawah’. Artinya pemimpin itu politically competent dalam mempertemukan beragam kepentingan yang bermain dalam organisasi. Di tengah beragam agenda yang dimiliki banyak elemen dalam PLN, Dahlan Iskan semestinya punya agenda sendiri yang dia mau jalankan. Apapun agenda itu, seharusnya agenda itu bisa membuat semua sepakat dengan Dahlan Iskan untuk merubah PLN menjadi penyedia jasa listrik yang memuaskan para pelanggannya.
Saat ini, beberapa citra PLN kita yang berkembang di mata masyarakat adalah sebagai perusahaan listrik yang tidak responsif, berorientasi produk, gagap teknologi, hubungan menang-kalah, staf yang tidak kompeten, organisasi yang tertutup. Gambaran negatif tentang PLN tersebut harus disadari dan disikapi oleh warga PLN melalui usaha untuk melakukan perubahan secara mendasar. Oleh karenanya PLN harus bisa melakukan Perubahan menjadi Sahabat Setia untuk Kemajuan yang proaktif dalam memberikan pelayanan yang handal, mampu memberikan solusi kepada pelanggan melalui hubungan menang-menang (win-win solution), staf yang kompeten, keterbukaan komunikasi serta berorientasi kepada kepuasan pelanggan. Implementasi program perubahan yang telah dimulai 4 November 2009 lalu oleh Direktur Utama PLN merupakan tindak lanjut dari studi yang dilakukan dengan Corporate Strategy Refinement sebelumnya. Program ini akan merubah PLN menjadi perusahaan kelas dunia, bebas dari subsidi, menguntungkan, dan ramah lingkungan.
Untuk pelaksanaannya, Manajemen PLN telah membentuk Tim Metamorfosa PLN. Tugas utama Tim ini adalah sebagai katalisator untuk mendorong implementasi inisiatif stratejik dari 8 kelompok program yaitu :
1. Program Kapasitas dan Pendanaan: Optimalisasi dan integrasi manajemen kapasitas terpadu, penurunan capex pada pembangunan pembangkit baru, pencapaian sukses IPP, pembangunan geothermal.
2. Program Energi Primer: Peningkatan kemampuan organisasi pengelolaan energi primer, implementasi best practice untuk kontrak dan tender, strategi sourcing batubara dan gas.
3. Program Operational Excellence: Peningkatan kinerja operasi di sektor pembangkit, transmisi dan distri¬busi, penerapan manajemen strategi asset di pembangkit, transmisi dan distribusi.
4. Program Procurement Excellence: Implementasi pengadaan strategic oleh Tim Khusus (SWAT), pengembangan organisasi dan proses pengadaan strategic dengan pendekatan TCO.
5. Program Commercial Excellence: Implementasi program B2B untuk segmen pelanggan yang tidak diatur dalam regu¬lasi, perbaikan tingkat pelayanan bagi pelanggan sektor bisnis dan industri.
6. Program Manajemen Stakeholders dan Pengelolaan Regulasi: Pengembangan fungsi dan rencana pengelolaan regulasi, studi pelaksanaan UU Ketenagalistrikan.
7. Program Peningkatan Budaya Kinerja yang Tinggi & Kepemimpinan: Peningkatan Performance Management System berbasis kinerja, perencanaan SDM untuk mendukung kebutuhan PLN di masa depan, peningkatan program pengembangan karir, penyempurnaan struktur organisasi dan peningkatan kultur budaya menuju Good Corporate Governance (GCG).
8. Program Citra Positif: Membangun komunikasi strategis untuk meningkatkan citra PLN.
Program Metamorfosa PLN merupakan tanggung jawab insan PLN secara keseluruhan, karena itu seluruh karyawan PLN diharapkan mengetahui inisiatif ini dan memberikan dukungan sepenuhnya kepada program perubahan untuk keberhasilan korporat. Tim Metamorfosa akan melakukan komunikasi guna meningkatkan pemahaman internal dan juga eksternal terutama terhadap para stakeholder kunci. Program metamorfosa, memang harus segera diimplementasikan ditengah persepsi buruk yang berkembang saat ini sehingga membuat citra PLN kian terpuruk di mata Pemerintah dan public.
Tidak ada sesuatu yang tidak berubah, semua pasti akan mengalami suatu perubahan. Begitu juga dengan organisasi, yang harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Dibutuhkan suatu perencanaan dalam proses perubahan, sehingga perubahan menjadi lebih terarah. Perubahan tidak menyarankan untuk menunggu sampai muncul dorongan yang kuat akan perubahan, namun kondisi organisasi yang selalu siap melakukan perubahan harus diciptakan. Segala penolakan dan hambatan untuk berubah harus dieliminir terlebih dahulu. Sehingga dengan begitu pemimpin perubahan akan lebih mudah menciptakan lingkungan yang lebih mendukung adanya perubahan. Melalui kombinasi tindakan strategi dengan fase organisasi dalam sigmoid curve dapat memberikan arahan dalam mengelola perubahan. Bagi seorang pemimpin, critical succes factor dapat menjadi landasan dalam mengelola perubahan. Dengan memperhatikan berbagai dimensi dalam perubahan tersebut diharapkan proses perubahan menuju kesuksesan. 


Pengembangan organisasi (PO) sebagai suatu disiplin perubahan perencanaan yang menekankan pada penerapan ilmu pengetahuan dan praktek keperilakuan untuk membantu organisasi-organisasi mencapai efektivitas yang lebih besar. Para manajer dan staf ahli harus bekerja dengan dan melalui orang-orang untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dan PO dapat membantu mereka membentuk hubungan yang efektif di antara mereka. Di dalam menghadapi akselerasi perubahan yang semakin cepat, PO diperlukan untuk bisa mengatasi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan tersebut.
Sejarah pengembangan organisasi ditunjukkan oleh lima latar belakang/batang: pelatihan laboratorium, umpan balik survei, riset tindakan, produktivitas dan kualitas kehidupan kerja, serta perubahan strategik. Pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam sejumlah deversitas pendekatan PO, praktisi, dan keterlibatan organisasi membuktikan sehatnya suatu disiplin dan menawarkan suatu prospek yang menguntungkan di waktu mendatang.
Para Pelaku Pengembangan Organisasi
Pengembangan organisasi (PO) diterapkan kepada tiga jenis manusia: spesialisasi individu di dalam PO sebagai profesi, orang-orang dari lapangan yang terkait, yang telah mencapai sejumlah kompetensi di dalam PO, dan para manajer yang memiliki keahlian PO yang diperlukan untuk perubahan dan mengembangkan organisasi atau departemen mereka.
Peranan profesional PO dapat diterapkan terhadap konsultan internal, yang memiliki organisasi yang sedang mengalami perubahan, dan terhadap konsultan eksternal yang menjadi anggota universitas dan perusahaan konsultan atau bekerja sendiri, serta terhadap anggota tim konsultan internal-eksternal. Peranan PO akan dideskripsikan secara tepat didalam istilah marjinalitas. Orang-orang yang berorientasi pada marjinalitas nampak khususnya beradaptasi untuk peran PO, karena mereka dapat menjaga kenetralan dan objektivitas serta mengembangkan solusi yang integratif yang mengakurkan titik pandang antara departemen-departemen oposisi. Sementara peranan PO di masa lalu telah dideskripsikan sebagai ujung klien dari suatu kontinum mulai dari fungsi clien-centered kepada consultant-centered. Pengembangan intervensi baru dan beraneka ragam telah menggeser peranan profesional PO meliputi keseluruhan rentang dari kontinum tersebut.
Walaupun masih menjadi suatu kemunculan profesi, sebagian besar profesional PO memiliki pelatihan khusus didalam PO, terbentang dari kursus-kursus jangka pendek dan workshop-workshop, serta pendidikan master dan doktor. Tidak ada jalur karir tunggal, namun demikian konsultan internal sering digunakan sebagai batu loncatan untuk menjadi konsultan eksternal.
Nilai telah memainkan peran kunci di dalam PO, dan nilai-nilai tradisional mendukung kepercayaan, kerja sama, dan kejujuran yang pada akhir-akhir ini telah dilengkapi dengan nilai-nilai keefektifan dan produktivitas organisasional. Spesialis PO akan menghadapi dilema nilai dalam rangka mencoba untuk bekerja sama mengoptimalkan keuntungan
sumber daya manusia dan kinerja organisasi. Mereka juga akan menjumpai konflik nilai ketika berhadapan dengan stakeholder eksternal yang penuh kekuatan, seperti pemerintah, pemegang saham, dan pelanggan. Berhadapan dengan kelompok dari luar tersebut akan memerlukan keahlian politik, begitu juga keahlian sosial tradisional yang lebih baik.
Issue-issue yang berkaitan dengan etika di dalam PO melibatkan bagaimana para praktisi melaksanakan peran bantuan mereka dengan klien. PO senantiasa menunjukkan perhatiannya terhadap pelaksanaan yang berkaitan dengan etika para praktisi, dan pada akhir-akhir ini sebuah kode yang berkaitan dengan etika untuk praktek PO telah dikembangkan oleh berbagai macam asosiasi profesional di dalam PO. Issu-issu yang berkaitan dengan etika di dalam PO cenderung untuk muncul di sekitar issue-issue berikut ini: pemilihan intervensi, menggunakan informasi, menahan servis, ketergantungan klien, pemilihan partisipasi, dan memanipulasi klien.
Konsep Perubahan Organisasi
Semua organisasi harus berubah karena adanya tekanan di dalam lingkungan internal maupun eksternal. Walaupun perubahan yang terjadi lebih pada lingkungan, namun pada umumnya menuntut perubahan lebih pada organisasional, dan organisasi-organisasi bisa melakukan lebih banyak perubahan ataupun lebih sedikit. Organisasi-organisasi bisa merubah tujuan dan strategi-strategi, teknologi, desain pekerjaan, struktur, proses-proses, dan orang. Perubahan-perubahan pada orang senantiasa mendampingi perubahan-perubahan pada faktor-faktor yang lain.
Proses perubahan pada umumnya mencakup sikap dan perilaku saat ini yang unfreezing, perubahan-perubahannya dan akhirnya kepemilikan sikap dan perilaku yang baru yang refreezing. Sejumlah isu-isu kunci dan problem harus dihadapi selama dalam proses perubahan umum. Pertama adalah, diagnosis yang akurat mengenai situasi dan kondisi saat ini. Kedua adalah, penolakan yang ditimbulkan oleh adanya unfreezing dan perubahan. Terakhir adalah, isu pelaksanaan evaluasi yang memadai dari usaha perubahan yang sukses, di mana evaluasi-evaluasi semacam itu kebanyakan lemah atau bahkan tidak ada sama sekali
Berbagai Pendekatan Perubahan Organisasi
Ada tiga pandangan tentang konsep perubahan organisasi pertama, pada hakikatnya target perubahan organisasional adalah birokrasi yang digunakan sebagi alat administrasi dan sebagai instrumen kekuasaan dan pengaruh. Kedua, perubahan organisasi harus melalui cara demokrasi dan liberalisasi. Ketiga, organisasi dan manajemen dapat mengenali gap antara situasi yang ada dengan yang diharapkan berdasarkan ukuran-ukuran tertentu yang biasa digunakan yaitu, efektivitas, efisiensi, dan kepuasan anggota organisasi.
Di samping tiga pandangan tersebut ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami perubahan organisasi. Berbagai pendekatan tersebut adalah pertama, pendekatan yang menekankan pada hubungan-hubungan antara struktur, teknologi dan orang. Dari ketiga unsur tersebut akan dapat ditentukan tentang apa yang akan diubah dan bagaimana cara mengubahnya. Kedua, dari mana ide konsep pendekatan tersebut berasal. Di sini ada dua konsep yaitu analisis Leavitt dan analisis Greiner. Leavitt cenderung menjawab persoalan apa yang dapat diubah, sedangkan Greiner cenderung menjawab bagaimana perubahan itu dilakukan atau diimplementasikan.
Diagnosis Organisasi
Untuk menyusun suatu perencanaan perubahan perlu dilakukan suatu diagnosis organisasi. Diagnosis organisasi dapat dilakukan oleh organisasi yang bersangkutan maupun dengan bantuan pihak luar.
Mendiagnosis organisasi dengan memandang organisasi sebagai suatu sistem terbuka dapat dipandang melalui 3 tingkatan, yaitu:
1.      Organisasi secara keseluruhan adalah cara memandang organisasi secara keseluruhan, termasuk bentuk perusahaan, struktur, mekanisme, sumber-sumber yang digunakan organisasi.
2.      Kelompok kerja (unit, bagian) adalah kelompok-kelompok kerja yang ada pada organisasi, berikut struktur interaksi yang terjadi antaranggota kelompok.
3.      Individu adalah pribadi-pribadi dalam organisasi, termasuk di sini adalah kewajiban individu dalam organisasi.
Pada proses diagnosis organisasi yang perlu dilakukan adalah memperhatikan hal-hal yang terjadi pada tiap tingkat:
1.      Tingkat organisasi (secara keseluruhan) – pada tingkat ini dapat dilihat bentuk perusahaan dan bentuk-bentuk hubungan dalam pengalokasian sumber-sumber yang dimiliki.
2.      Tingkat kelompok kerja (departemen) – pada tingkat ini dapat diperhatikan bentuk-bentuk kelompok kerja dan hubungan yang terjadi antar anggota kelompok.
3.      Tingkat individu - pada tingkat ini yang diperhatikan adalah bagaimana deskripsi suatu jabatan kerja disusun sehingga individu dapat berkarya secara maksimal.
Diagnosis Organisasi dan Tingkatannya
Proses diagnosis organisasi dilakukan dengan menganalisis tingkatan-tingkatan yang terdapat dalam organisasi, yaitu:
1.      Organisasi secara keseluruhan.
2.      Kelompok kerja (unit, bagian).
3.      Individu.
Untuk menganalisis ketiga tingkatan dalam organisasi dengan memperhatikan unsur-unsur: inputs, design components dan outputs.
Metode Pengumpulan Data dalam Diagnosis Organisasi
Sebagai bahan dalam diagnosis organisasi diperlukan data mengenai organisasi yang bersangkutan. Proses pengumpulan data yang diperlukan dapat menggunakan metode:
1.      Kuesioner.
2.      Wawancara.
3.      Pengamatan (observasi).
4.      Data Sekunder.
Metode-metode tersebut mempunyai kelebihan dan kelemahan, karenanya dalam penggunaannya dapat dilakukan dengan cara penggabungan agar memberi manfaat yang maksimal.
Analisis Diagnosis Data
Proses analisis data dibedakan pada data kualitatif dan data kuantitatif. Metode yang biasa digunakan untuk menganalisis data kualitatif adalah:
1.      Content analysis;
2.      Force Field analysis;
3.      Diagram.
Metode yang biasa digunakan untuk menganalisis data kuantitatif pada analisis diagnosis organisasi adalah: means, standard deviasi, distribusi frekuensi, diagram pencar (scattergram), koefisien korelasi, difference tests.
Penerapan Proses Perubahan
Perubahan yang dilakukan pada individu, kelompok, maupun organisasional, perlu adanya suatu keterampilan, pengetahuan, dan pelatihan paling sedikit dalam dua bidang, yaitu diagnosis dan penerapan perubahan.
Penerapan merupakan langkah lanjut dari tahap diagnosis organisasional, di mana pada tahap ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan: 1). bagaimana melakukan perubahan, baik dalam individu, kelompok, maupun organisasional. 2). bagaimana caranya agar orang-orang dapat menerima perubahan, dan 3). Apa saja yang mendukung dan menghambat perubahan.
Ada dua (2) alat analisis yang dapat dipergunakan dalam penerapan pertama, analisis medan faktor dan kedua, analisis daur perubahan. Analisis medan faktor, dikembangkan oleh Kurt Lewin yang bermanfaat untuk menguji variabel-variabel guna menentukan tingkat efektivitas suatu perubahan organisasional. Sedangkan analisis daur perubahan akan menganalisis empat tingkat perubahan organisasional, yang mencakup perubahan pengetahuan, perubahan sikap, perubahan perilaku organisasional, dan perubahan prestasi kelompok atau organisasional. Tingkat-tingkat perubahan tersebut menjadi sangat signifikan pada pengkajian daur perubahan parsipatif dan daur perubahan direktif.
Selanjutnya, salah satu pertimbangan yang paling penting dalam menentukan apakah akan menerapkan strategi perubahan partisipatif atau direktif atau kedua-duanya, adalah penggunaan pola komunikasi yang diterapkan pada organisasi atau kelompok yang dituju saat itu. Dalam menerapkan strategi perubahan, para manajer organisasi harus berusaha mencakup pengembangan pola komunikasi yang tepat ke dalam strategi perubahan organisasi. Sebelum melaksanakan strategi perubahan organisasi perlu pula dipertimbangkan struktur komunikasi yang diterapkan pada waktu itu. Bahwa strategi perubahan perlu disesuaikan dengan pola struktur komunikasi yang telah terbentuk sebelumnya.
Proses Perubahan dan Mengatasi Penolakan Terhadap Perubahan
Semua organisasi harus berubah karena adanya tekanan-tekanan baik dari lingkungan internal maupun eksternal. Walaupun kebanyakan perubahan lingkungan biasanya meminta lebih banyak perubahan organisasional, akan tetapi organisasi-organisasi dapat melakukan perubahan-perubahan yang begitu besar atau juga begitu kecil. Organisasi-organisasi dapat merubah tujuan dan strategi, teknologi, desain jabatan, struktur, proses dan orang-orangnya. Perubahan manusia hampir selalu mengikuti perubahan dalam faktor-faktor yang lain.
Proses perubahan secara umum mencakup unfreezing sikap dan perilaku saat ini, berubahnya, dan refreezing sikap dan perilaku baru yang diminta. Beberapa isu atau masalah-masalah kunci harus dihadapi selama proses perubahan umum. Satu di antaranya adalah diagnosis secara akurat kondisi saat ini dan penolakan terhadap perubahan yang timbul dari kondisi unfreezing dan kondisi perubahan itu sendiri.
Mengevaluasi Hasil Intervensi
Yang dimaksud proses evaluasi dengan dilakukannya intervensi adalah:
1.      Penilaian selama intervensi diimplementasikan.
2.      Penilaian setelah proses intervensi diimplementasikan.
Tujuan dilakukan evaluasi adalah:
1.      Memperoleh umpan balik (feedback) terhadap implementasi intervensi (implementation feedback). Umpan balik yang dihasilkan merupakan informasi yang akan menjadi bahan penuntun pelaksanaan implementasi.
2.      Memperoleh umpan balik dari hasil evaluasi yang dilakukan (evaluation feedback). Informasi yang diperoleh dari evaluation feedback adalah hasil intervensi yang dilakukan, apakah sesuai atau tidak dengan rencana.

Melembagakan Proses Intervensi pada Organisasi
Keberhasilan sosialisasi proses intervensi dipengaruhi 4 hal, yaitu:
1.      Karakteristik Organisasi.
2.      Karakteristik Intervensi.
3.      Proses Sosialisasi.